Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kembalikan Kemampuan Mencium Aroma dengan Hidung Bionik

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pada 2016, dua peneliti AS mengajukan paten untuk sistem implan penciuman. Penelitian keduanya tiba-tiba menjadi lebih relevan ketika banyak pasien Covid-19 yang menderita kehilangan indra penciuman dan perasa secara permanen.

Richard Costanzo berdiri samping kepala manekin kacamata olahraga yang dihiasi dengan elektronik dan memegang botol cairan biru hingga sensor kecil berupa sebuah LED berwarna biru menyala, dan ponselnya menampilkan tulisan "Windex". Kemudian dia melambaikan sebotol cairan ungu dan mendapatkan cahaya ungu bersama dengan tulisan "Listerine".

"Semua ini akan digantikan dengan stiker scotchlite pada model akhir," kata Costanzo, saat dia mengatur ulang peralatan di laboratoriumnya di Virginia Commonwealth University (VCU), Richmond, Virginia, Amerika Serikat (AS) seperti dikutip dari laman IEEE Spectrum.

Yang diperagakan Costanzo adalah prototipe hidung bionik yang konsepnya ia telah kembangkan selama beberapa dekade dengan nama neuroprostetik untuk pengganti indra penciuman. Manekin mewakili seseorang yang kehilangan indra penciumannya seperti penderita cedera otak, yang pernah terserang Covid-19, atau kondisi medis lainnya.

Inti teknologi Costanzo adalah sensor, yang merupakan jenis yang sama yang digunakan untuk hidung elektronik komersial atau e-nose. Pada model akhir, sensor ini tidak akan menyalakan LED tetapi akan mengirimkan sinyal ke otak pengguna.

Di ruang belakang laboratorium Costanzo, terdapat model lain yang merupakan paruh kedua pengembangan konsep. Di sana, sensor e-nose mentransmisikan sinyalnya ke sejumlah kecil elektroda yang diambil dari implan koklea. Untuk orang dengan gangguan pendengaran, implan tersebut memberikan informasi tentang suara ke telinga bagian dalam dan kemudian ke otak. Implan juga berukuran tepat untuk bulbus olfaktorius di tepi otak.

Sebelumnya Costanzo berpikir mengapa sensor neuroprostetik tidak dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi tentang bau. Ternyata ide ini memberi Costanzo pencapaian karier menjadikannya seorang profesor fisiologi dan biofisika. Sebelumnya pada era '80-an, ia mendirikan Pusat Gangguan Bau dan Rasa VCU, salah satu klinik pertama di negara tersebut.

Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian tentang hilangnya penciuman dan penyelidikan kemungkinan regenerasi biologis, ia mulai mengerjakan solusi perangkat keras pada era '90-an. Ia mengaplikasikan eksperimennya dengan sensor dan elektroda.

Namun proyek tersebut baru benar-benar dimulai pada 2011 ketika dia mulai berbicara dengan rekannya Daniel Coelho, seorang profesor otolaringologi di VCU dan seorang ahli dalam implan koklea. Mereka segera menyadari bahwa bau prostetik bisa mirip dengan implan koklea.

"Ini mengambil sesuatu dari dunia fisik dan menerjemahkannya menjadi sinyal listrik yang secara strategis menargetkan otak," tutur Coelho.

Pada 2016, kedua peneliti mengajukan paten untuk sistem implan penciuman mereka. Pencarian Costanzo tiba-tiba menjadi lebih relevan pada awal 2020, ketika banyak pasien dengan penyakit baru yang disebut Covid-19 menyadari bahwa mereka telah kehilangan indra penciuman dan perasa.

Tiga tahun pandemi, beberapa dari pasien Covid-19 masih belum pulih dari keadaan tersebut. Ada juga mereka karena penyakit lain seperti cedera otak, dan penuaan. Namun Costanzo tak mau gegabah dan menyatakan perangkat implan penciuman komersial mereka belum akan tersedia sekarang.

Walau begitu ia ingin menawarkan harapan. Saat ini, tim fokus untuk mendapatkan sensor untuk mendeteksi lebih dari beberapa bau dan mencari cara terbaik untuk berinteraksi dengan otak.

"Saya pikir kita beberapa tahun lagi akan tercapai terobosan itu dan saya pikir itu bisa dilakukan," ucap Costanzo.

Tantangan Tersulit

Neuroprostetik telah digunakan untuk sensor indra lain. Implan koklea adalah neuroteknologi paling sukses hingga saat ini. Sebanyak 700.000 perangkat ditanamkan di telinga di seluruh dunia, seperti implan retina untuk orang buta meskipun beberapa sistem penglihatan bionik mengalami masalah komersial.

Dengan sistem tersebut para peneliti bahkan bekerja untuk memulihkan indra peraba pada orang-orang dengan kaki palsu dan kelumpuhan. Tetapi bau dan rasa telah lama dianggap sebagai tantangan yang terlalu sulit.

Untuk memahami alasannya, seseorang perlu memahami kompleksitas luar biasa dari sistem penciuman manusia. Ketika bau mawar masuk ke rongga hidung, molekul bau mengikat neuron reseptor yang mengirimkan sinyal listrik ke saraf penciuman.

Saraf-saraf itu melewati lempeng tulang untuk mencapai bulbus olfaktorius, sebuah struktur saraf kecil di otak depan. Dari sana, informasi masuk ke amigdala, bagian otak yang mengatur respons emosional, hippocampus sebuah struktur yang terlibat dalam memori, dan korteks frontal yang menangani pemrosesan kognitif.

Hubungan saraf yang bercabang itulah yang menjadi alasan mengapa bau terkadang dapat menyerang dengan kekuatan seperti itu, memunculkan kenangan bahagia atau peristiwa yang membuat trauma.

"Sistem penciuman memiliki akses ke bagian otak yang tidak dimiliki indra lain," kata Costanzo, seraya mengatakan bahwa keragaman koneksi otak juga menunjukkan bahwa merangsang sistem penciuman dapat dipakai untuk kegunaan lain lain, lebih dari sekadar untuk mengenali makanan dan kebocoran gas.

"Ini dapat mempengaruhi suasana hati, memori, dan kognisi," papar dia. hay/I-1

Pasien Covid-19 Kehilangan Penciuman Permanen

Salah satu pasien objek penelitian Richard Costanzo, profesor emeritus bidang fisiologi di Virginia Commonwealth University (VCU), Richmond, Viirginia, AS, adalah Scott Moorehead. Saat mengajari putranya yang berusia 6 tahun cara bermain skateboard pada 2012, ia mendemonstrasikan beberapa gerakan di jalan masuk rumahnya di Indiana. Namun skateboard-nya retak dan membuatnya terjatuh.

"Bagian belakang tengkorak saya menanggung beban jatuh," kata dia.

Akibatnya Moorehead menghabiskan tiga hari di unit perawatan intensif, di mana dokter merawatnya karena beberapa patah tulang tengkorak, pendarahan internal yang masif, dan kerusakan pada lobus frontal otaknya.

Selama beberapa pekan dan berbulan-bulan, pendengarannya kembali, sakit kepalanya hilang, dan perilaku lekas marah dan bingung memudar. Tapi dia tidak pernah mendapatkan kembali indra penciumannya.

Kecelakaan yang dialami Moorehead secara permanen memutus saraf yang mengalir dari hidung ke olfactory bulb di dasar otak. Seiring dengan indra penciumannya, dia kehilangan semua kecuali indra perasa yang belum sempurna.

"Rasa sebagian besar berasal dari bau," jelas dia. "Lidah saya sendiri hanya bisa merasakan manis, asin, pedas, dan pahit. Anda dapat menutup mata saya dan meletakkan 10 rasa es krim di depan saya, dan saya tidak akan tahu bedanya. Semuanya akan terasa sedikit manis, kecuali cokelat yang agak pahit," kata dia.

Moorehead menjadi depresi. Bahkan lebih dari rasa makanan, dia merindukan aroma unik dari orang-orang yang dia cintai. Dan pada satu kesempatan dia tidak menyadari kebocoran gas, hanya menyadari bahaya ketika istrinya pulang dan membunyikan alarm.

Anosmia atau ketidakmampuan untuk mencium, dapat disebabkan tidak hanya oleh cedera kepala tetapi juga oleh paparan racun tertentu dan oleh berbagai masalah medis termasuk tumor, Alzheimer, dan penyakit virus seperti Covid-19.

Hilangnya penciuman dan rasa telah menjadi gejala dominan Covid-19 sejak awal pandemi. Orang dengan anosmia yang diinduksi virus korona saat ini hanya memiliki tiga pilihan, menunggu dan melihat apakah indranya kembali dengan sendirinya, meminta obat steroid yang mengurangi peradangan dan dapat mempercepat pemulihan, atau memulai rehabilitasi bau.

Tidak seperti kebanyakan anosmik, Moorehead tidak menyerah ketika dokternya mengatakan kepadanya bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memulihkan indra penciumannya. Sebagai CEO perusahaan ritel ponsel dengan kantor cabang di 43 negara bagian, ia memiliki sumber daya untuk berinvestasi dalam penelitian jangka panjang.

Dan ketika seorang rekan memberitahunya tentang pekerjaan di VCU, dia menghubungi dan menawarkan bantuan. Sejak 2015, Moorehead telah memasukkan hampir 1 juta dollar AS ke dalam penelitian tersebut. Dia juga melisensikan teknologi dari VCU dan meluncurkan startup bernama Sensory Restoration Technologies.

Ketika pandemi Covid-19 melanda, Moorehead melihat peluang. Meskipun mereka jauh dari memiliki produk untuk diiklankan, dia bergegas untuk membuat situs web untuk startup. Dia ingat pernah berkata: "Orang-orang kehilangan indra penciuman mereka. Orang-orang perlu tahu kita ada," ujar dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top