Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perekonomian Nasional I PMI Manufaktur RI Terus Memburuk dan Turun 4 Bulan Terakhir

Kelas Menengah Bawah Semakin Banyak yang Kehilangan Pendapatan

Foto : ISTIMEWA

BPS merilis data IHK yang menunjukkan pelandaian yang cukup signifikan. Secara tahunan (year on year/yoy), Indonesia mengalami inflasi sebesar 2,13 persen dan secara bulanan (month to month/mtm) tercatat mengalami deflasi 0,18 persen.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pada awal bulan Agustus 2024, perekonomian nasional setidaknya dikejutkan dua hal yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menurun dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang turut berkontraksi. Penurunan dua indikator itu menunjukkan banyak kelas menengah bawah yang kehilangan pendapatan karena kehilangan pekerjaan.

BPS merilis data IHK yang menunjukkan pelandaian yang cukup signifikan. Secara tahunan (year on year/yoy), Indonesia mengalami inflasi sebesar 2,13 persen dan secara bulanan (month to month/mtm) tercatat mengalami deflasi 0,18 persen.

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (1/8), mengatakan deflasi 0,18 persen itu deflasi terdalam pada 2024 dan deflasi ketiga beruntun.

Para analis menyatakan deflasi dua bulan beruntun adalah sinyal jika daya beli masyarakat Indonesia tengah turun. Terlebih, sejumlah indikator menunjukkan adanya tekanan pada konsumsi.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengatakan bahwa penurunan daya beli masyarakat karena kelas menengah ke bawah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan berujung pada penghasilannya yang menurun.

Pengamat ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan secara nasional deflasi terjadi dua bulan berturut-turut, tapi di banyak kota salah satunya di Yogyakarta, deflasi sudah terjadi tiga bulan berturut-turut.

Susilo mengatakan BPS menyatakan penyebab utama deflasi kali ini bukan karena penurunan daya beli, melainkan karena pasokan yang melimpah. Namun, jika dilihat dari berbagai data ekonomi lainnya, maka perlu dianalisis secara komprehensif dengan melihat indeks manufaktur dan data tabungan kelas menengah yang turun.

"Baik inflasi maupun deflasi adalah fenomena ekonomi yang biasa terjadi. Inflasi selama masih dalam angka satu digit bukanlah penyakit ekonomi, begitu pula dengan deflasi," katanya.

Hal yang paling penting saat ini adalah pentingnya peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan agar tidak terlalu bergejolak, sehingga pelaku pasar bisa merencanakan bisnisnya dengan baik dan daya beli masyarakat tetap terjaga.

Lemahnya daya beli masyarakat juga terlihat dari sikap kurang konsumtifnya masyarakat terhadap barang termasuk penjualan mobil yang relatif stagnan.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mencatat penjualan mobil nasional tahun 2013 mencapai 1,23 juta unit, dan sampai saat ini, angka itu belum terlampaui. Sementara itu, produksi mobil nasional justru terus naik dan mencapai puncak di tahun 2022. Tercatat produksi mobil nasional mencapai 1,47 juta unit, naik dari tahun 2021 yang sebanyak 1,12 juta unit.

Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fithra Faisal, yang mengatakan bahwa moderasi harga pangan menjadi faktor utama di balik deflasi kali ini. Kenaikan harga pangan tercatat 3,66 persen, turun dari 4,95 persen pada Juni dan merupakan yang terkecil dalam 11 bulan terakhir.

Terus Memburuk

Selain deflasi, angka PMI Manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir.

S&P Global pada Kamis (1/8) telah merilis data PMI Manufaktur Indonesia, yang menunjukkan jatuh dan terkontraksi ke 49,3 pada Juli 2024. PMI Manufaktur Indonesia terus memburuk dan turun selama empat bulan terakhir. PMI anjlok dari 54,2 pada Maret 2024 menjadi 49,3 pada Juli 2024.

Puncaknya adalah kontraksi pada Juli 2024 setelah PMI manufaktur Indonesia ada dalam fase ekspansif selama 34 bulan sebelumnya.

Sebagai informasi, PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi atau berada di zona negatif.

Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, Paul Smith, menjelaskan PMI mengalami kontraksi karena penurunan permintaan.

"Pesanan baru dan produksi turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Karena itu, para produsen bersikap hati-hati, dengan aktivitas pembelian sedikit dikurangi dan pekerjaan turun pada tingkat tercepat sejak September 2021," sebut Paul, seperti dikutip dari situs resminya.

Lemahnya pasar tenaga kerja di Indonesia tecermin dari keputusan perusahaan untuk mengurangi jumlah staf untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir (pemutusan hubungan kerja/PHK).

"Produsen memilih untuk mengurangi aktivitas pembelian mereka pada Juli. Kondisi ini adalah yang pertama sejak Agustus 2021. Jumlah pekerja juga dipangkas dengan angka pengurangan yang terbesar dalam hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya," kata S&P.

Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan untuk memperbaiki daya beli masyarakat, pemerintah harus memfokuskan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor primer.

Sektor pertanian, perikanan, dan industri pengolahan punya keunggulan menyerap banyak tenaga kerja, kebalikan dari yang padat modal. Pekerjanya pun banyak dari masyarakat kelas bawah. Bila sektor itu yang diperkuat, bisa menjadi tumpuan hidup bagi orang miskin, sehingga daya beli mereka akan membaik.

"Sebaliknya, kalau terlalu fokus pada yang padat modal, belum tentu buruhnya banyak, sehingga kurang mendukung untuk memperbaiki daya beli secara lebih merata," tutur Bagong.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top