Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kongres Kebudayaan

Kebudayaan Mampu Atasi Konflik di Masyarakat

Foto : ISTIMEWA

Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Perdamaian Agama dan Peradaban, Jacky Manuputty.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kebudayaan dinilai mampu menyatukan dua kelompok masyarakat yang sebelumnya bertikai hebat. Hal ini terbukti dalam kasus konflik agama di Ambon, Maluku.

"Konflik yang sempat memisahkan masyarakat Ambon menjadi dua kelompok berbeda, bisa cair seketika ketika alunan alat musik menyatu dalam satu melodi," kata Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Perdamaian Agama dan Peradaban, Jacky Manuputty, saat menjadi pembicara dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) 2018 bertajuk "Berkepribadian dalam Kebudayaan" di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Rabu (5/12).

Jacky menjelaskan, bukti nyata bahwa kebudayaan mampu menyatukan dua kelompok yang sebelumnya bertikai hebat terlihat dari penampilan dua pemuda Maluku yang membawakan tarian dan puisi bertema Maluku.

"Ronald dan Iskandar ini merupakan child soldiers (tentara anak-anak) dari dua kelompok berbeda, yang saat konflik saling berhadap- hadapan . Ronald yang menari itu mantan tentara anak, yang mahir menggunakan senjata dari ketapel, AK 47, SS1 dan akhirnya membuat bom rakitan yang pernah berhadapan dengan Iskandar, yang membawakan puisi," papar Jacky.

Kisah mereka berdua menjadi viral setelah diangkat BBC dalam film semi dokumenter berjudul Child Soldiers. "Mereka yang sebelumnya saling bermusuhan mampu menyatu dalam tari dan puisi dan berkolaborasi dalam satu pertunjukan di panggung. Ronald saat menari membaur dengan teman teman muslim yang dulu berhadap-hadapan dengannya," kata Jacky.

Ia menjelaskan, awal mula pertikaian di Ambon, yaitu 11 Januari 1999 pukul 14.00 WIT. Konflik yang selesai pada 2011 tersebut, diikutinya mulai dari awal, pembuatan penjanjian damai hingga peace building (membangun perdamaian).

"Awal ketika pecah konflik timbul satu pertanyaan, apa yang terjadi dengan Pela Gandong di Maluku? Budaya yang begitu luhur, kok bisa diterobos dengan konflik? Tiga bulan sebelum konflik, saya ditelepon seseorang yang mengatakan agar berhati-hati karena konflik dapat terjadi di Maluku," kata Jacky.

Ketika itu, pihaknya tidak menghiraukan karena percaya dengan Pela Gandong. Namun ketika terjadi konflik, seseorang yang pernah menelponnya, sempat mempertanyakan keampuhan Pela Gandong menjaga kedamaian di Maluku.

"Kenapa jadi sangat lemah? Dan di situ kami temukan bahwa harmoni dalam Kristen dan Islam yang terjadi sebelum konflik ternyata menyimpan ketegangan yang panjang antardua agama tersebut. Dan yang menjadi katup pengamannya adalah budaya. Jadi, kalau ada ketegangan maka diselesaikan lewat budaya," ujar Jacky. eko/ang/E-3

Komentar

Komentar
()

Top