Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Penduduk Miskin I Jumlah Warga Miskin Indonesia Akan Naik Menjadi 67 Juta Jiwa

Kasus Kelaparan Global Terus Bertambah

Foto : KORAN JAKARTA/M FACHRI

JUMLAH PENDUDUK MISKIN BERTAMBAH 13 JUTA JIWA I Warga beraktivitas di permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, Minggu (17/7). Perhitungan baru Bank Dunia yang mengubah ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah menyebabkan jumlah penduduk kelas menengah yang turun menjadi penduduk miskin bertambah 13 juta jiwa

A   A   A   Pengaturan Font

» Kasus kekurangan gizi kronis bertambah sampai 150 juta orang di dunia tahun ini.

» Kebergantungan terhadap negara maju terkait impor pangan harus diakhiri.

JAKARTA - Menurut perhitungan baru Bank Dunia, setidaknya ada 13 juta warga Indonesia yang akan turun kelas dari kelompok berpenghasilan menengah ke bawah ke kelompok miskin. Jumlah warga miskin Indonesia akan meningkat menjadi 67 juta jiwa.

Bank Dunia akan mengadopsi ketentuan baru mengenai hitungan purchasing power parities (PPPs) atau kemampuan belanja mulai musim gugur 2022. Berubahnya ketentuan tersebut membuat jutaan warga Indonesia turun dari kelas menengah, masuk ke kelompok miskin.

Basis perhitungan baru berdasarkan PPP 2017 sementara yang lama adalah PPP 2011. Pada basis perhitungan baru, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem bagi mereka yang berpenghasilan 2,15 dollar AS per orang per hari atau 32.745 rupiah per hari dengan asumsi kurs 15.230 per dollar AS. Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem ada di 1,90 dollar AS.

Lembaga tersebut juga mengubah ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle income class) serta kelas berpenghasilan menengah ke atas (upper- middle income class).

Batas kelas penghasilan menengah ke bawah dinaikkan menjadi 3,65 dollar AS atau 55.590 per orang per hari dari sebelumnya 3,20 dollar AS atau 48.740 rupiah. Sementara itu, batas kelas berpenghasilan menengah ke atas menjadi 6,85 dollar AS atau 104.325 per hari dari sebelumnya 5,50 dollar AS atau 83.675 per hari.

Berkaitan dengan kekhawatiran itu, para menteri pertanian dari negara-negara Kelompok 20 (G20), pada Rabu (28/9), dalam pertemuan Agriculture Ministers Meeting (AMM) di Jimbaran, Badung, Bali, menekankan keseriusan dan komitmen mereka untuk bekerja sama mengatasi krisis pangan dan kelaparan.

Pada kesempatan itu juga disampaikan laporan status ketahanan pangan dan gizi dunia pada 2022. Pandemi Covid-19 dikatakan telah menyebabkan kasus kekurangan gizi kronis bertambah sampai 150 juta orang di dunia. Begitu pula dengan kasus kelaparan global juga meningkat 702 juta hingga 828 juta orang. Masih menurut laporan yang sama, jumlah kasus kelaparan pada 2021 tercatat 670 juta jiwa atau bertambah 32-158 juta jiwa sesuai perkiraan tahun ini.

Bukan hanya dampak pandemi, perubahan iklim dan ketegangan politik yang diikuti dengan aksi blokade juga diyakini memperburuk ancaman krisis pangan dan kelaparan. Indonesia pada kesempatan itu mengusulkan tiga isu prioritas, yaitu menciptakan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan. Kemudian, memastikan perdagangan pertanian tetap terbuka, adil, dapat diprediksi, transparan, dan nondiskriminatif demi memastikan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau untuk semua. Terakhir, perlunya kewirausahaan pertanian yang inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan penghidupan petani di perdesaan.

Produksi Dalam Negeri

Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, yang diminta pendapatnya, mengatakan pemerintah Indonesia harus memikirkan bagaimana agar bisa mengatasi masalah kekurangan gizi dengan produksi dalam negeri.

"Kebergantungan terhadap negara maju terkait dengan impor pangan ini harus diakhiri agar produksi di dalam negeri meningkat. Forum internasional seperti G20 mestinya dijadikan kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang," kata Dwi.

Forum tersebut, kata Dwi, semestinya menjadi ajang menyampaikan agar perdagangan global berjalan adil tanpa diskriminatif. Masalah utama sehingga perdagangan global itu tak pernah adil karena tarif impor pangan beberapa komoditas bisa sampai nol persen yang membuat produk negara-negara maju selalu membanjiri negara berkembang seperti yang terjadi di Indonesia.

"Sebut saja, bawang putih, gandum, sama kedelai. Ini persoalan yang belum disentuh soal tarif ini. Pemerintah selalu bilang tingkatkan produksi, tetapi masalah intinya soal akses perdagangan tidak tersentuh. Itu yang membuat harga produksi dalam negeri kalah bersaing," tegas Andreas.

Saat ini, sekitar 90 persen perdagangan pangan global, terang Dwi, dikuasi oleh lima korporasi multinasional yang merupakan milik negara-negara maju. Mereka mengeruk keuntungan besar dari negara-negara berkembang, tanpa disadari negara-negara berkembang.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top