Kalau Sudah Dinyatakan Negatif, Tinggal Jalankan 'Physical Distancing'
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ZULFIKARDengan demikian, hingga Minggu ini, total terdapat 1.285 kasus di Indonesia. Sementara itu, sebanyak 114 pasien meninggal dunia. Jumlah itu bertambah 12 pasien dari sehari sebelumnya.
Penanganan secara serius dan cepat terutama dari pemeriksaan terus dilakukan. Pemerintah sudah memeriksa lebih dari 6.500 spesimen. Di sisi lain, masyarakat yang ingin melakukan tes tidak semua mengetahui prosedur yang berlaku.
Untuk mengupas hal tersebut, Koran Jakarta mewawancarai Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana tanggapan Anda terkait banyaknya masyarakat yang ingin melakukan tes Covid-19?
Kondisinya sampai saat ini masyarakat yang ingin tes banyak, tapi fasilitasnya sedikit. Kita memang punya banyak rumah sakit rujukan, tapi jumlah laboratorium yang memastikan positif atau tidak belum sebanding.
Di DKI Jakarta saja hanya ada tiga tempat, yaitu laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbangkes), Lembaga Biologi dan Molekular Eijkman, dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Itu prosesnya menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan membutuhkan waktu yang lama.
Bila ada warga yang mendapati dirinya memiliki ciri-ciri seperti batuk dan pilek, mendatangi rumah sakit. Pihak RS menyatakan yang bersangkutan hanya sakit biasa, bukan gejala korona. Warga itu ingin melakukan tes lanjutan. Apa itu perlu?
Tidak perlu. Kalau sudah negatif ya bagus. Tinggal jalankan isolasi mandiri dengan melakukan social distancing atau physical distancing. Hasil tes dari laboratorium sudah akurat, meskipun waktunya lama.
Pemerintah sudah mendatangkan alat "Rapid Detection Test" (RDT) untuk mempercepat pengecekan. Apakah ini efektif?
Saya melihatnya di Indonesia RDT ini justru belum jalan karena mungkin belum didistribusikan ke rumah sakit. Jadi, saya minta alat yang sudah ada harus segera dibagikan ke rumah sakit agar bisa langsung digunakan.
Tes secepat mungkin sebanyak mungkin itu menjadi penting agar kita tahu seberapa besar masalahnya. Lalu, bisa segera dilakukan isolasi dan karantina untuk memutus rantai penularan.
RDT di Korea Selatan per harinya digunakan untuk mengerjakan 10 ribu tes. Begitu juga di negara-negara lain agar mengetahui besaran masalah.
RDT ini apa harus juga bagi masyarakat yang tidak mengalami riwayat kontak?
Memang diprioritaskan untuk orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP). Tapi, kalau mau ke masyarakat yan g tidak ada kaitannya bisa juga. Yang terpenting adalah dikerjakan dan hasilnya diumumkan. Saya harapkan dalam seminggu sudah didistribusikan.
Ada permintaan agar Indonesia juga membuat alat RDT sendiri dengan data pasien positif Indonesia. Bagaimana tanggapan Anda?
Untuk bikin sendiri bisa, tapi terlalu lama. Alat yang sudah didatangkan itu jumlahnya satu juta sudah bagus. Yang ada dulu saja dimanfaatkan. n muh ma'arup/P-4
Redaktur: Khairil Huda
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Pemanasan Bagus Madrid Jelang Bertemu Atalanta
- 2 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 3 Kabar Menggembirakan, Kemenag Berikan Perlindungan Jamsostek ke 165 Ribu Guru Madrasah
- 4 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 5 Dede Yusuf Ungkap Turunnya Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak Salah Satunya karena Masyarakat Jenuh