Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kabinda Sulteng Jadi Penjabat Kepala Daerah Sudah Sesuai Aturan

Foto : Agus Supriyatna

Menpan RB Tjahjo Kumolo

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Penunjukan Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah (Kabinda) Sulteng Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai penjabat kepala daerah di Seram Bagian Barat, Maluku menuai kritikan. Dianggap menyalahi aturan.

Namun menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan) ditunjuknya Kabinda Sulteng Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, tidak menyalahi aturan.

"Keputusaan yang dibuat Mendagri tidak ada yang salah," kata Tjahjo dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/5).

Menurut Tjahjo, meskipun penjabat kepala daerah adalah anggota TNI atau Polri aktif tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI atau Polri dalam jabatan pimpinan tinggi.

""Sewaktu saya Mendagri dulu mengangkat Mayjen TNI Sudarmo tapi beliau sudah eselon I Kemendagri jadi Penjabat Gubernur di Papua dan Aceh. Dan mengangkat Komjen Iriawan yang sudah menjabat Sestama Lemhanas akhirnya bisa jadi Penjabat Gubernur Jabar. Jadi keputusan yang dibuat Mendagri tidak ada yang salah. Dasar hukumnya kuat dan sudah benar," katanya.

Menteri Tjahjo pun lantas menjelaskan dasar hukum dari posisi Kabinda. Kata dia, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2012 tentang Badan Intelijen Negara, Pasal 54 Ayat (3) disebutkan bahwa Kepala Biro, Direktur, Inspektur, Kepala Binda, dan Kepala Pusat adalah jabatan Pimpinan Tinggi Pratama atau jabatan struktural eselon II.a. "Kabinda adalah Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama. Ini sudah sesuai Pasal 201 UU Pilkada," katanya.

Menurut Tjahjo, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, diatur mekanisme pengisian penjabat kepala daerah. Mekanisme untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah oleh penjabat kepala daerah ini diatur dalam Pasal 201 UU Pilkada.

"Dalam Pasal 201 UU Pilkada Ayat (10) dinyatakan untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur,diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya.

Sementara, kata Tjahjo, Pasal 201 Ayat (11) UU Pilkada menyatakan, untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Wali kota, diangkat penjabat Bupati/Wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Jadi keputusan yang dibuat Mendagri dasar hukumnya kuat dan sudah benar," ujarnya.

Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian saat memberi arahan di acaraRapat Koordinasi (Rakor) Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Provinsi Sulut, menegaskan, mengenai penjabat kepala daerah sudah diatur mekanismenya dalam UU Pilkada.

"Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati atau wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama," ujarnya.

Menteri Tito menambahkan, dalam satu amanahnya, UU Pilkada menyatakan Pilkada dilakukan bulan November tahun 2024. Tujuannya agar ada keserentakan. Jadi, spirit dari pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).

"Ini dilakukan agar penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Nah, selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat," ujarnya.

Tito juga menegaskan, usulan pemilihan penjabat kepala daerah dari Kemendagri berdasarkan pada asas profesionalitas. Kemendagri sendiri terus melakukan pengawasan karena adanya kemungkinan konflik kepentingan terkait pemilihan penjabat. Apalagi menjelang tahun pemilu. Pemilihan usulan penjabat dilakukan dengan melihat berbagai faktor, selain dari usulan gubernur.

"Kita mempertimbangkan juga faktor-faktor yang lain. Nah kemudian ketika banyak sekali konflik kepentingan, yang paling aman itu kalau didrop dari pusat, seperti misalnya di Sultra ada satu yang dari Kemendagri. Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional, dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis," ungkapnya.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top