Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebebasan Pers

Jurnalis Maria Ressa Mulai Jalani Persidangan

Foto : AFP/NOEL CELIS

Maria Ressa

A   A   A   Pengaturan Font

MANILA - Sidang kasus pencemaran nama baik yang menjerat jurnalis kenamaan asal Filipina, Maria Ressa, telah dimulai pada Selasa (23/7). Kasus tersebut dipandang oleh pembela kebebasan pers sebagai pembalasan pemerintah atas pelaporan yang kritis tentang Presiden Rodrigo Duterte di laman berita yang dipimpin Ressa, 55 tahun.

"Pemerintah berharap bisa mengintimidasi kami dengan menguras waktu pribadi saya dan sumber daya kami," kata Ressa, yang tidak dihadirkan di pengadilan dalam persidangan kali ini. "Saya tidak akan terintimidasi. Kami terus melakukan pekerjaan kami. Misi jurnalisme tidak pernah sepenting hari ini di Filipina," imbuh eks koresponden CNN di Indonesia itu.

Ressa, yang memimpin redaksi media daring Rappler dan pernah dinobatkan sebagai "Person of the Year" pada 2018 karena dedikasinya di dunia jurnalisme oleh Time Magazine, saat ini dibebaskan dengan jaminan dan akan menghadapi kurungan penjara jika dinyatakan bersalah melanggar undang-undang siber.

Kasus pencemaran nama baik tersebut merupakan sebagian dari serangkaian 10 tuntutan pidana yang telah menimpa Ressa dan Rappler selama setahun terakhir. Kasus itu juga memicu tuduhan bahwa pihak berwenang menargetkan Ressa dan timnya terkait pekerjaan kejurnalistikan mereka.

Portal berita Rappler kerap melaporkan dan kritis soal kebijakan-kebijakan Duterte, terutama atas kampanye pemberantasan narkoba Duterte yang mematikan yang disebut-sebut kelompok hak asasi manusia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sidang kasus pencemaran nama baik yang menjerat Ressa yang digelar Selasa kemarin berlangsung singkat karena hanya mendengarkan testimoni dari seorang saksi saja dan persidangan ini akan dilanjutkan pada 30 Juli mendatang.

Persidangan awal kasus pencemaran nama baik itu menyoal laporan Rappler pada 2012 tentang dugaan hubungan seorang pengusaha dengan mantan hakim di pengadilan tinggi Filipina. Penyelidik pemerintah awalnya menolak keluhan pengusaha pada 2017 tentang laporan artikel tersebut di Rappler, namun jaksa penuntut negara kemudian memutuskan untuk mengajukan tuntutan.

Dalam pembelaannya, Ressa, mengatakan undang-undang siber itu belum berlaku hingga beberapa bulan setelah laporan berita itu diterbitkan. Namun pengacara pemerintah mengatakan artikel itu masih baru karena Rappler telah memperbaruinya pada 2014 untuk memperbaiki kesalahan ketik.

Saat ini, Ressa dan Rappler juga menghadapi kasus penipuan pajak dan korporasi.

Keprihatinan Internasional

Kasus yang menjerat Ressa ini pun telah menarik perhatian internasional. Menlu Kanada, Chrystia Freeland, dan mantan Menlu AS, Madeleine Albright, menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak-hak demokrasi.

Pengacara HAM, Amal Clooney, yang bergabung dengan tim hukum Ressa mengatakan kasus Ressa kembali menggemakan tema yang berulang dalam tugas jurnalistik. Wartawan yang mengekspos pelanggaran menghadapi penangkapan, sementara mereka yang melakukan pelanggaran justru mendapatkan impunitas.

Duterte, yang menyangkal berada di balik kasus tersebut, mengkritik Rappler. Duterte juga melarang meliput acara publiknya dan melarang pejabat pemerintah berbicara dengan wartawan Rappler. ang AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top