Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hubungan Bilateral

Jepang Akan Hadapi Krisis jika Kehilangan Pasar di Tiongkok

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perusahaan-perusahaan Jepang akan menghadapi krisis eksistensial jika mereka kehilangan Tiongkok, yang merupakan pasar ekspor dan sumber impor terbesar, kata kepala ekonom di perusahaan Jepang Sigma Capital Ltd, Hidetoshi Tashiro.

Sejumlah media mainstream Jepang, baru-baru ini menerbitkan artikel yang membahas kemungkinan dan dampak dari "pemisahan (decoupling) antara Jepang dan Tiongkok".

Tiongkok adalah mitra dagang terbesar Jepang dan "menemukan pengganti Tiongkok sangatlah sulit bagi Jepang," kata Tashiro kepada Xinhua dalam sesi wawancara baru-baru ini.

Seperti dikutip dari Antara, Tashiro memberi contoh, TDK, produsen komponen elektronik terkemuka di Jepang, menghasilkan lebih dari separuh pendapatannya dari Tiongkok antara April 2021 hingga Maret 2022.

Ia menambahkan Murata Manufacturing, produsen komponen elektronik besar lainnya di Jepang, juga meraup lebih dari separuh pendapatan tahunannya dari Tiongkok.

Tashiro berargumen pemisahan dari Tiongkok akan menempatkan kedua perusahaan tersebut dalam risiko kebangkrutan. Jika pemisahan dari Tiongkok dilakukan, perusahaan-perusahaan ini berpotensi tumbang, dan hal itu akan berdampak besar terhadap perekonomian Jepang.

Data dari Kementerian Keuangan Jepang menunjukkan pada 2021, Jepang mengimpor telepon dan peralatan terkait dari Tiongkok senilai 2,4 triliun yen (1 yen = 112 rupiah), yang mencakup 11,8 persen dari total impor Jepang; mesin pemrosesan data elektronik otomatis senilai 1,7 triliun yen, yang mencakup 8,1 persen dari total impor; serta proyektor dan perangkat penerima senilai 361,1 miliar yen, yang mencakup 1,8 persen dari total impor.

Timbulkan Masalah

Tashiro meyakini pemisahan dari ekonomi Tiongkok berpotensi menimbulkan masalah seperti meroketnya harga ponsel di Jepang dan kesulitan dalam membeli perangkat pemrosesan data otomatis elektronik, sementara beberapa perusahaan akan menghadapi kesulitan operasional.

Ancaman terhadap salah satu ekonomi maju di Asia ini memang telah muncul sebelumnya. Jepang mengalami penurunan yang panjang dan menyakitkan di dunianya sejak 1989. Perekonomiannya yang stagnan tergelincir di belakang Tiongkok. Populasinya perlahan menyusut dan menua dengan cepat.

Dikutip dari Business Insider, pemerintahnya sekarang memiliki salah satu beban utang terberat di dunia, setelah menghabiskan triliunan dollar AS untuk proyek pekerjaan umum yang memberi Jepang infrastruktur kelas satu tanpa merangsang pertumbuhan ekonomi abadi yang menjadi tujuan stimulus.

Sebagian besar utang itu dimiliki oleh rumah tangga dan institusi Jepang. Dari era shogun hingga saat ini, satu konstanta masyarakat Jepang adalah kepicikannya. Negara tidak menyambut baik orang maupun, sebagian besar, modal dari luar pantainya.

Itu sekarang mungkin harus berubah jika Jepang ingin menghindari terpinggirkan di panggung global.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top