Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pilkada Lampung I Pelaporan “Money Politics” Tidak Penuhi Syarat TSM

Jadi Saksi Arinal, Warga Tak Peroleh Rekomendasi Biling dari Lurah

Foto : istimewa

Buat Laporan I Nyonya Fitri Yulmi (kanan) didampingi Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM DPD II Partai Golkar, Ginda Anshori Wayka, SH, MH (kiri) usai membuat laporan peristiwa yang dialami, di Kelurahan Beringin Jaya, Bandar Lampung, Rabu (4/7).

A   A   A   Pengaturan Font

Gara-gara jadi saksi paslon nomor 3, Arinal-Nunik, di Pilgub Lampung, Lurah Beringin Jaya, Bandar Lampung, tak memberikan rekomendasi bina lingkungan (Biling) untuk seorang warganya.

BANDAR LAMPUNG - Siapa bilang lurah di Lampung netral dalam pemilihan gubernur (Pilgub) pada 27 Juni lalu. Terbukti, salah seorang warga Kelurahan Beringin Jaya, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, menjadi korban kebijakan lurah karena beda pilihan. Nyonya Fitri Yulmi, warga Kelurahan Beringin Jaya, pada Selasa (3/7), datang ke kantor kelurahan bersama anaknya AM, tidak mendapat pelayanan layaknya seorang warga.

Sampai di kantor kelurahan, Fitri bertemu Lurah Dara. Fitri, yang pada Pilgub lalu menjadi saksi cagub paslon nomor 3, Arinal-Nunik, mendapat sambutan kurang baik dari lurah setempat. "Ibu Fitri mau ngapain? Mau ngurus biling, ya? Langsung saja ke Arinal. Jangan mau programnya saja, tapi orangnya tidak dipilih," kata Lurah Dara kepada Fitri.

Tak cuma pilih kasih dalam memberikan pelayanan warga. Lurah Dara juga menuduh Fitri membagi-bagi uang. Padahal, kata Fitri, uang yang dibagibagi itu merupakan uang saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Usai menghardik dan menuduh warganya, Lurah Dara menyuruh Fitri menemui stafnya, Ibu Neni, untuk mengurus surat pengantar sekolah program biling masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN).

Fitri lalu menemui staf Lurah, tapi tidak ada respons. Yang ada malah staf Lurah tersebut bicara yang hampir mirip dengan Lurah. Neni mengatakan bahwa program biling merupakan program Wali Kota Herman HN. "Ibu Fitri tahu tidak, biling program siapa?" kata Neni. Dijawab oleh Ibu Fitri, program Wali Kota Bandar Lampung.

Ibu Neni menimpali lagi, mengapa ibu mau menjadi saksi Arinal. Dijawab oleh Ibu Fitri bahwa menjadi saksi calon gubernur nomor urut 3 merupakan hak pribadi sebagai warga negara. Mendengar jawaban Fitri tersebut, Neni mengatakan minta saja ke Arinal. Sudah dipingpong dan diceramahi Lurah dan Stafnya, Ibu Fitri tidak mendapatkan surat pengantar dari Lurah. Fitri memutuskan pulang meninggalkan kantor Kelurahan Beringin Jaya dengan tangan hampa.

Merasa tidak mendapat surat pengantar dari Lurah, Fitri mengadukan peristiwa yang dialami ke DPD II Partai Golkar Bandar Lampung yang diterima oleh Wakil Ketua Bidang Hukum dan HAM, Ginda Anshori Wayka, SH, MH. Anshori mengatakan apa yang dilakukan Lurah Beringin Jaya kurang tepat. Sebab, program wajib belajar (wajar) 9 tahun itu merupakan program nasional pemerintah, dan bukan program pribadi seorang wali kota. Karena itu, tidak pantas seorang lurah berbuat seperti itu gara-gara beda pilihan dalam pilkada. Sementara itu, Lurah Beringin Jaya, Ibu Dara, saat dihubungi tidak mengangkat. Dikonfirmasi via SMS juga tidak membalas.

Bukan TSM

Sementara itu, Wakil Ketua DPD Golkar Lampung Bidang Kaderisasi, Abi Hasan Muan, menyatakan pelaporan paslon 1 dan 2 tidak memenuhi syarat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) "TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) dikaitkan dengan pelaporan yang disampaikan paslon 1 dan 2, tidak memenuhi persyaratan TSM, yang mereka laporkan cuman tentang money politics yang terjadi di beberapa kabupaten," kata Abi.

Kejadian tersebut, kata dia, tidak bisa dikatakan TSM. "Kalau terjadi money politics secara sporadis masih dapat dimaklumi," tuturnya. Kalau merujuk pada beberapa kasus TSM di Mahkamah Konstutusi, struktur yang dimaksud adalah saat calon melakukan kecurangan struktur yang ada, baik itu penyelenggara, penegak hukum, dan birokrasi membantu.

Bahkan, sampai kekerasan terjadi agar rakyat tidak melaporkan kecurangan tersebut. "Sistematis adalah cara kerja yang dilakuan calon yang melakukan kecurangan dilakukan dengan perencanaan dan tahapan, sedangkan masif adalah kecurangan dilakukan secara menyeluruh di kota dan kabupaten," ujarnya. ags/rag/AR-2

Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top