Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Konversi Energi I Indonesia Setujui Jalur Kabel EBT Bawah Laut Australia-Singapura

Ironis jika RI Impor Energi Tenaga Surya dari Australia

Foto : ANTARA/DEDHEZ ANGGARA

PEMBANGUNAN EBT LAMBAT I Petani membersihkan permukaan panel surya di area lahan tumpang sari miliknya di Kelurahan Karanganyar, Indramayu, Jawa Barat. Energi Baru dan Terbarukan (EBT), termasuk energi tenaga surya, tiap tahun selalu masuk dalam program pemerintah tetapi realisasi pembangunannya sangat lambat.

A   A   A   Pengaturan Font

Jika hanya menunjukkan potensi EBT saja tanpa realisasi pembangunan dan di sisi lain PLTU batu bara jalan terus maka yang akan terjadi emisi karbon lebih cepat dari EBT. "Padahal Indonesia sudah berjanji bauran EBT 23 persen, mana buktinya. Coba tunjukan dimulai dari mana barangnya. Padahal kita sudah berjanji menurunkan emisi karbon, tetapi kenyataanya justru menambah. Kalau begini terus sampai 2050 tidak akan tercapai. Jangan sampai pemerintah sekarang merasa itu bukan urusannya, dan merasa itu nanti urusan pemerintah mendatang," kata Badiul.

Menurutnya, EBT selalu masuk dalam program, tapi pembangunannya lamban. Sedangkan batu bara terus dibangun. Contoh pembangunan EBT 250 MW di Bali sudah lama direncanakan tetapi tidak ada kemajuan.

Selain lambannya pembangunan EBT, dia juga menyoroti beban pajak karbon yang sangat rendah, tapi malah dibebankan ke konsumen yang tidak bersalah, sedangkan pelaku tidak dikenakan.

"Ini tidak benar kalau konsumen yang bayar. Karbon tax dikenakan kepada semua objek yang diimpor dari masyarakat, tidak kurang dari 25 dollar dan 115 dollar pada pajak barang. Sedangkan produsen kita tidak dikenakan pajak. Misalnya kita beli motor, itu ada karbon tax. Harga sudah termasuk karbon tax. Tapi, si pembuat polutan kenapa dia dibebaskan, tarif tiga dollar AS itu sama saja dengan tidak bayar pajak. Ekspor-impor kita akan defisit. Setiap karbon yang kita impor, kita dikenakan pajak sebesar 25 dollar AS per ton, sedangkan kita ekspor keluar hanya mengenakan pajak karbon tiga dollar AS per ton, berarti defisit 22 dollar AS per ton," tutupnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top