Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Ekonomi 2019 - Indonesia Masih Rentan terhadap Sentimen Eksternal

Investasi Seret, Pertumbuhan Stagnan

Foto : Sumber: BPS, Kemenkeu – Litbang KJ/and - * Proye
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan belum mampu beranjak dari stagnasi pertumbuhan lima persen yang sudah berlangsung sejak 2013. Selain faktor eksternal seperti dampak perang dagang dan era bunga tinggi, pertumbuhan juga terhambat akibat seretnya laju investasi.

Direktur Eksekutif indef, Enny Sri Hartati, mengatakan pertumbuhan ekonomi 2019 masih sulit untuk melampaui angka lima persen. Hal ini terutama disebabkan seretnya aliran investasi yang masuk sehingga tidak ada akselerasi.

Padahal, lanjut dia, apabila Indonesia mampu menggenjot investasi, hal ini bukan hanya bisa mengantisipasi dampak perang dagang, tapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi. Sayangnya, meski minat investor sebenarnya lebih besar untuk menanamkan modalnya ke Indonesia, tapi faktanya banyak yang mengalir ke negara tetangga.

"Jadi sebenarnya, kendala kenapa kita stagnan lima persen bukan di luar, tapi di dalam negeri. Sehingga investasi itu sekarang seperti air, mencari jalannya sendiri. Artinya, mencari risiko yang lebih rendah. Salah satunya di Asia, termasuk Indonesia. Tapi di Indonesia mampet semua. Nggak mengalir," ungkap dia, di Jakarta, Minggu (9/12).

Sebelumnya, analis juga memperkirakan arus investasi pada tahun depan hanya tumbuh sekitar empat persen. Hal itu disebabkan pengetatan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang akhirnya harus diserap oleh perbankan dengan kenaikan suku bunga simpanan.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan hanya akan mencapai 4,9 persen, lebih rendah dibandingkan dengan asumsi pemerintah sebesar 5,3 persen. Perlambatan pertumbuhan itu antara lain akibat depresiasi rupiah yang dipicu penguatan dollar AS, menyusul tren kenaikan bunga acuan Bank Sentral AS. Selain itu, konsumsi dalam negeri yang selama ini menjadi motor pertumbuhan, diprediksi hanya akan tumbuh 4,93 persen.

Terkait dengan proyeksi pertumbuhan, lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings, pekan lalu juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan dari 5,1 persen menjadi lima persen.

Alasannya, Fitch menilai Indonesia masih rentan dengan sentimen eksternal. Ini terlihat dari pertumbuhan impor yang lebih kencang dibandingkan ekspornya. "Sektor eksternal berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kami perkirakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan akan turun ke 5 persen," jelas Fitch.

Di samping itu, koreksi pertumbuhan juga dilakukan karena pasar finansial Indonesia kian mengetat akibat kenaikan suku bunga acuan, BI 7-Days Reverse Repo Rate (7DRRR), yang merespons pengetatan likuiditas AS.

Analis senior Moody's Investors Service, Anushka Shah, menambahkan pertumbuhan ekonomi dunia, terutama pada negara yang bergantung pada perdagangan internasional, akan melambat pada 2019 dan 2020. Bahkan, dia menilai Indonesia juga akan terdampak oleh ketegangan perdagangan global. "Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok akan mengganggu kawasan Asia. Indonesia pun akan terkena dampak tidak langsungnya," kata Shah, belum lama ini.

Moody's memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara berkembang mencapai 4,6 persen pada 2019, sedangkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan tumbuh 4,8 jauh, jauh lebih rendah daripada perkiraan pemerintah sebesar 5,3 persen.

Sisi Penawaran

Sementara itu, ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengemukakan selain perlambatan konsumsi, stagnasi pertumbuhan juga disebabkan oleh tidak adanya penetrasi di sisi suplai. Padahal, kekuatan perekonomian sebuah negara adalah di sisi permintaan dan penawaran.

"Demand kita bisa dikatakan sudah oke, meskipun ada perlambatan. Tapi, di sisi supply bermasalah," jelas dia.

Menurut Heri, pemerintah sebenarnya sedang berupaya memperbaiki sisi penawaran, yaitu dengan mengeluarkan serangkaian paket kebijakan ekonomi untuk menarik investor.

Dia menegaskan, selama Indonesia masih mengandalkan konsumsi dan ekspor berupa komoditas mentah, maka ekonomi sulit tumbuh tinggi. Untuk itu, pemerintah sebaiknya juga segera memperbaiki sisi penawaran, sehingga nanti akan berbuah pada pertumbuhan ekspor. "Ada belanja pemerintah. Lakukan belanja yang efektif dalam mendorong suplai. Artinya, produktif lah," tukas Heri.ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top