Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kondisi Perekonomian I BI Perkirakan Inflasi Tahun Ini Berkisar 4,5-4,6 Persen

Inflasi Bakal Melampaui Target

Foto : Sumber: Bank Indonesia - KORAN JAKARTA/ONES/AND
A   A   A   Pengaturan Font

» Pemerintah harus aktif mengintervensi harga komoditas yang naik untuk menghindari dampak lebih luas ke ekonomi nasional.

» Penarikan utang harus lebih selektif dan produktif agar tidak membebani keuangan negara.

JAKARTA - Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) merevisi naik proyeksi inflasi Indonesia pada 2022. Lembaga tersebut memperkirakan inflasi Indonesia tahun ini berada di level 4,0 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Proyeksi tersebut lebih tinggi dari perkiraan mereka sebelumnya 3,6 persen.

"Peningkatan inflasi pada tahun ini didorong oleh peningkatan harga komoditas dan permintaan masyarakat yang meningkat," sebut ADB dalam laporan bertajuk Asian Development Outlook Supplement, edisi Juli 2022.

Lembaga multilateral itu mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengontrol harga dalam negeri dengan pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan juga pengendalian harga komoditas pangan yang menjadi pelecut inflasi.

Selain ADB, Bank Indonesia (BI) juga merevisi perkiraan inflasi pada tahun ini. Otoritas moneter itu yakin perkiraan inflasi tahun ini meleset dari target, bahkan melampaui target atas yang ditetapkan sebelumnya.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan inflasi pada tahun ini bisa di kisaran 4,5-4,6 persen secara yoy atau melampaui perkiraan sebelumnya 4,2 persen. Tekanan inflasi, kata Perry, bersumber dari sisi penawaran, yaitu dari peningkatan harga pangan dan harga energi yang tidak disubsidi oleh pemerintah, seiring dengan gejolak global yang tinggi serta gangguan mata rantai pasok global.

Selain itu, disusul dengan kebijakan proteksionisme pangan dari negara-negara lain yang menambah potensi inflasi.

Tinggal Diam

Pengamat Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, yang diminta pendapatnya mengatakan proyeksi inflasi yang melampui sebelumnya itu karena kenaikan harga komoditas primer dan rentannya pasokan bahan baku industri manufaktur dari luar negeri serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Permasalahan eksternal seperti kapan berakhirnya perang Russia-Ukraina dan ancaman stagflasi di Amerika Serikat (AS) makin mempersulit prediksi sikap Bank Sentral AS, Federal Reserve yang makin mendorong meningkatnya ketidakpastian.

Akibatnya, mendorong kenaikan inflasi baik cost push inflation (supply) maupun demand pull inflation.

Pemerintah, katanya, tidak boleh tinggal diam melihat fenomena itu, namun harus melakukan intervensi langsung untuk menghindari dampak negatif untuk ekonomi domestik.

"Jika melihat sumber inflasi adalah lebih pada cost push inflation, intervensi di sektor riil untuk menurunkan harga diperlukan," kata Suhartoko.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari STIE YKP, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan inflasi akan menjadi tantangan utama sampai gejolak geopolitik yang disebabkan perang Russia-Ukraina menemukan titik terang.

"Ini ujian bagi pemerintah bagaimana mengatasi inflasi, setelah stabil sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi. Apalagi inflasi terutama dari pangan dan energi akan sangat menekan daya beli masyarakat di saat penghasilan belum tumbuh," kata Aditya.

Pada kesempatan terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Imron Mawardi, menyarankan agar pemerintah di tengah ancaman inflasi lebih selektif dan berhati-hati dalam menarik utang.

"Kalau resesi benar terjadi, dampaknya ialah masyarakat sulit untuk menjangkau kebutuhan pokok seperti pangan dan energi. Sulitnya memperoleh barang-barang kebutuhan dipengaruhi ketersediaan yang minim dengan tren harga yang melambung tinggi. Maka, pemerintah harus mempertimbangkan betul keputusan sebelum berutang," kata Imron.

Kemampuan untuk membayar utang bukan ditentukan dari rasio uang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi ditentukan dari tax ratio. Tax ratio saat ini hanya sekitar 9 persen dari PDB. Artinya, per 1.000 PDB itu hanya bisa menghasilkan 90 pajak.

Bandingkan dengan Eropa, yang memiliki tax ratio di atas 30 persen. Artinya, jika utang mereka setara dengan 60 persen dari PDB, utang tersebut akan lunas dalam waktu dua tahun. Tetapi kalau utang Indonesia 40 persen dari PDB, perlu empat tahun dari perolehan pajak untuk dapat melunaskan utang tersebut.

"Ini harus diperhitungkan, bagaimana pemerintah juga menurunkan atau mengurangi rasio utang kita ke depan, dengan menggunakan anggaran secara lebih efisien," katanya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top