Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Fluktuasi Harga - Inflasi pada 2022 Berpotensi Lampaui Target Pemerintah

Inflasi Bakal Makin Terakselerasi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Harga sejumlah barang kebutuhan pokok (bapok) melonjak, meliputi cabai rawit, minyak goring, dan telur ayam. Karena itu, pemerintah harus secepatnya menstabilkan harga agar inflasi bulan ini dan tahun depan tetap terkendali.

Tak hanya itu, pemerintah perlu menunda rencana penaikan harga gas LPG (liquid petroleum gas) nonsubsidi dan penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium serta pertalite. Pasalnya, saat ini, penyesuaian harga tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu pemulihan ekonomi masyarakat.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, menjelaskan fluktuasi harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng terus dipengaruhi oleh lonjakan harga bahan baku crude palm oil (CPO) internasional. Sementara itu, lonjakan harga cabai dan telur terpengaruh cuaca dan permintaan dalam negeri.

"Pemerintah harus secepatnya melakukan berbagai intervensi stabilitas harga. Soal minyak goreng misalnya, pemerintah bisa membuat DMO (Domestic Market Obligation) harga CPO sehingga harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri lebih stabil," tegas Bhima pada Koran Jakarta, Selasa (28/12).

Dia menjelaskan kenaikan harga pangan dipastikan akan mendorong lonjakan inflasi pada Desember. Menurutnya, inflasi Desember dapat mencapai 0,5-0,65 persen secara bulanan, di atas capaian pada November lalu sebesar 0,37 persen dan Desember tahun lalu sekitar 0,45 persen.

Tren inflasi tahun depan diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 4-5 persen secara tahunan atau year on year (yoy), di atas proyeksi di APBN 2022 sebesar tiga persen. Volatilitas rupiah karena normalisasi kebijakan moneter negara maju juga berisiko menciptakan imported inflation atau naiknya harga barang impor di level konsumen. "Kita harus mempersiapkan inflasi yang lebih tinggi, dan memperhatikan antisipasi ke pelemahan daya beli kelas menengah-bawah," tegas Bhima.

Perlu ditunda

Terkait rencana penaikan harga gas nonsubsidi, Bhima menyatakan penyesuaian tersebut berdampak terhadap lonjakan inflasi, khususnya pada awal 2022 yang berpotensi tembus level lima persen. Sebab, gas berkontribusi besar terhadap biaya industri makanan dan minuman (mamin) serta rumah tangga.

"Kelas menengah yang paling terpukul karena harga gas dan kebutuhan pokok naik tidak dibarengi kenaikan pendapatan yang signifikan. Pemerintah saja tidak bisa atur harga minyak goreng, sekarang gasnya naik," jelasnya.

Meskipun penyesuaian terakhir 2017, tapi seharusnya pada 2020 ketika harga gas dunia sedang turun, pemerintah juga menurunkan harga gas nonsubsidi. Karena itu, dia menyarankan agar kenaikan gas ini ditunda dahulu. Menurutnya, pemerintah dapat memangkas target laba Pertamina untuk penugasan agar stabilitas harga gas terjamin hingga akhir tahun.

Sementara itu, Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting, mengungkapkan harga elpiji nonsubsidi naik memang berbeda-beda antarwilayah. Dia mengatakan penyesuaian harga elpiji nonsubsidi untuk merespons tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) elpiji yang terus naik sepanjang 2021. Pada November 2021, harganya mencapai 847 dollar AS per metrik ton, tertinggi sejak 2014 atau meningkat 57 persen sejak Januari 2021.

Dirinya berpandangan, harga elpiji Pertamina masih kompetitif yakni sekitar 11.500 rupiah per kilogram (kg) per 3 November, dibandingkan Vietnam sekitar 23.000 rupiah per kg, Filipina 26.000 rupiah per kg, dan Singapura sekitar 31.000 rupiah per kg.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top