Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Insentif Fiskal

Industri Manufaktur Harus Dipacu dengan Relaksasi Tarif PPN

Foto : AFP/CHINA OUT

Karyawan sedang mengerjakan pakaian pelindung sinar matahari di sebuah pabrik di Fuyang, Provinsi Anhui, Tiongkok.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta merelaksasi tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini tarifnya 11 persen dan akan naik menjadi 12 persen pada 2025 mendatang. Relaksasi tarif diminta berkisar 7-8 persen dengan tujuan untuk memacu kontribusi manufaktur terhadap perekonomian.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah perlu memberi dukungan dengan menjaga demand side lewat relaksasi tarif PPN.

Rekomendasi itu mengacu pada laporan S&P Global Market Intelligence yang menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juni 2024 mengalami pelemahan 1,4 poin menjadi 50,7 dibandingkan bulan sebelumnya.

Relaksasi tarif PPN, jelasnya, penting dan bisa diterapkan sementara atau

temporary, yaitu khusus diterapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

Menurut Bhima, penyebab penurunan PMI manufaktur sangat terkait dengan naiknya biaya bahan baku karena pelemahan nilai tukar rupiah, selanjutnya masih tingginya rasio suku bunga, serta adanya tekanan inflasi bahan makanan, sehingga membuat permintaan terhadap produk industri mengalami penurunan.

Selain merekomendasikan untuk melakukan relaksasi tarif PPN, ia juga ingin pemerintah melakukan pengendalian inflasi pangan, ekspansi pasar ekspor alternatif, memberikan diskon tarif listrik 40-50 persen di jam beban puncak, serta melakukan kembali pengetatan impor.

"Impor barang jadi perlu dibatasi dengan tarif dan kebijakan nontarif," katanya.

Sementara itu, pakar ekonomi yang juga Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyampaikan perlunya persiapan yang optimal bila pemerintah merelaksasi PPN agar ketika tarifnya diturunkan tidak mengganggu penerimaan negara yang berujung pada defisit perekonomian.

"Harus kita siapkan dulu di sisi yang lainnya. Karena kalau penerimaan itu turun, sementara belanja pemerintah masih diharapkan naik dengan semua program-program pemerintah, artinya defisit melebar, defisit melebar itu berarti utangnya naik," kata Piter.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan perlunya penyesuaian pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di Tanah Air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.

Kian Terpuruk

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengaku khawatir sektor manufaktur makin terpuruk jika pemerintah tahun depan malah menerapkan tarif baru PPN 12 persen.

"Kebijakan fiskal melalui relaksasi PPN diperlukan untuk mencegah deindustrialisasi yang melemahkan kinerja perekonomian nasional," tegas Awan.

Pemerintah, papar Awan, harus membantu agar industri dalam negeri bisa kembali pulih dan tumbuh sehingga berkontribusi lebih besar lagi terhadap perekonomian nasional. Regulator juga harus melindungi industri lokal dari serbuan produk-produk impor, seperti industri tekstil atau padat karya yang sulit bersaing.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top