Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Perdagangan - “Rent Seeking” Impor Pangan Matikan Sektor Lainnya

Indonesia Importir Gula Terbesar Dunia

Foto : ANTARA/ANDIKA WAHYU

IMPOR GULA THAILAND - Sejumlah pekerja memindahkan karung berisi gula kristal putih dari kapal berbendera Thailand MV Chailan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, beberapa waktu lalu. Thailand merupakan negara eksportir gula terbesar di Indonesia.

A   A   A   Pengaturan Font

>>Yang menikmati keuntungan impor hanya puluhan orang, tapi memiskinkan jutaan petani.

>>APBN bisa jebol akibat beban obligasi rekap dan defisit perdagangaan dari impor pangan.

JAKARTA - Indonesia tercatat sebagai importir gula terbesar dunia pada 2017 dengan nilai impor mencapai 2,3 miliar dollar AS atau 7,8 persen dari total impor dunia. Berdasarkan data dari laman World's Top Export itu, Thailand menjadi pemasok gula terbesar di Indonesia dengan nilai 1,2 miliar dollar AS atau meningkat 77,6 persen dari tahun 2013.

Media South China Morning Post (SCMP) juga menyebutkan Indonesia sebenarnya merupakan importir gula terbesar dunia, bukan Tiongkok. Menurut data WorldAtlas.com, pada 2015/2016, Tiongkok merupakan importir gula terbesar dunia dengan volume impor enam juta ton, sedangkan Indonesia di urutan kedua dengan volume impor 3,6 juta ton.

Sementara itu, pemerintah dalam rapat terbatas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Rabu (19/12) malam, menyatakan akan mengurangi impor gula pada tahun depan. Kuota impor gula mentah pada 2019 diproyeksikan 2,8 juta ton atau lebih rendah dari kuota tahun ini sebesar 3,7 juta ton. Sedangkan SCMP menyebutkan, impor gula Indonesia hampir lima juta ton pada 2017 menunjukkan masih jauhnya realisasi ambisi untuk kemandirian pangan.

Menanggapi rencana pemerintah memangkas impor gula, sejumlah kalangan mengemukakan negara-negara di dunia biasanya membatasi impor dengan tarif tinggi, namun Indonesia masih menerapkan tarif paling rendah, di bawah 3 persen.

Contohnya, Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) hanya mengimpor dari negara yang punya hubungan khusus dengan dasar special preferenced treatment, dan mengenakan tarif tinggi.

"Tapi Indonesia, tidak ada hubungan khusus dengan Thailand yang menjadi eksportir gula terbesar di sini. Secara umum, impor ini hanya jadi alat atau bonekanya rent seeking meraup untung sebesar-besarnya, hingga membunuh petani dan industri dasar," ujar Guru Besar Pertanian UGM, Masyhuri, saat dihubungi, Jumat (21/9).

Dia menambahkan impor gula dan impor pangan yang mencapai 12 miliar dollar AS setahun merupakan salah satu pemicu defisit perdagangan hingga mencapai 7,5 miliar dollar AS.

Bahkan, ekonom senior, Faisal Basri, menyebutkan defisit neraca perdagangan Januari-November 2018 yang mencapai 7,5 miliar dollar AS tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. "Ini sejarah baru Indonesia, defisit perdagangannya sudah mencapai 7,5 miliar dollar AS," ujar Faisal, Rabu (19/12).

Masyhuri menilai defisit perdagangan itu sama saja Indonesia menyubsidi negara eksportir. Padahal, Indonesia belum menjadi negara kaya, tapi malah tekor hingga meminta-minta utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran. "Kita dalam pos APBN justru menganggap utang sebagai penerimaan pinjaman. Membohongi diri sendiri, bagaimana rupiah tidak jebol ke 15 ribu rupiah per dollar AS," tukas dia.

Guna mengatasi karut-marut sektor pangan akibat kebergantungan yang tinggi pada impor, maka tidak ada jalan lain, pemerintah harus segera membentuk Badan Pangan sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. "Badan Pangan harus langsung di bawah presiden, dengan kewenangan setingkat menteri koordinator," jelas dia.

Bahaya Utama

Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Adi Susilo, mengingatkan bahwa dalam rencana debat dalam pemilihan presiden akan mengusung tema ekonomi, tentunya juga termasuk isu kebergantungan impor Indonesia. Makanya, kebijakan mengurangi impor tahun depan bisa menjadi strategi untuk menutup kesempatan menyerang pemerintah.

"Pengurangan impor bukan hanya untuk menang pilpres, tapi itu juga harus jadi dasar satu tekad satu bangsa, jangan sampai defisit mematikan satu bangsa, mematikan petani, dan menghancurkan rupiah. Sebab, itu membuat utang membengkak, dan ujungnya kemiskinan atau disparitas meningkat," papar dia.

Padahal, lanjut Adi, yang menikmati keuntungan impor hanya puluhan orang, tapi memiskinkan jutaan petani. Dia pun mempertanyakan bagaimana Indonesia mau bangkit jika para pemangku kepentingan tidak melihat kebergantungan impor sebagai bahaya utama.

"Tanpa perang secara militer, kita akan kalah jika diembargo oleh negara eksportir pangan. Makanya, negara maju menganggap pangan sebagai keamanan nasional. Tapi, rent seeker tidak mempedulikan hal itu," tukas dia.

Oleh karena itu, Adi menyatakan tidak mengherankan ketika Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan bunga, Indonesia akan kelimpungan akibat tingginya utang dalam dollar AS.

APBN bisa jebol akibat beban obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kini sudah mencapai 4.000 triliun rupiah, dan defisit perdagangaan dari impor pangan.

Dia pun menyatakan rent seeking yang membuat negara terus bergantung impor, bagaikan lingkaran setan yang mematikan sektor lain, seperti petani, dan sektor riil, serta industri nasional. "Bagaimana pemerintah mau menaikkan pajak menambah pendapatan negara, jika sektor riil tidak berkembang," tutur Adi.

Menurut dia, fiskal sulit dibenahi tanpa membenahi impor pangan, dan sektor riil. Ibaratnya, orang mau sehat tapi merokok terus tiap hari, justru semakin lama penyakit makin parah. "Fiskal terjebak oleh beban utang dan defisit yang membengkak."

Industri Nilai Tambah

Terkait pengembangan ekspor, Masyhuri menegaskan bahwa ekspor Indonesia sulit berkembang jika hanya mengandalkan komoditas seperti batu bara, minyak sawit (CPO), dan karet, yang tidak memiliki nilai tambah. "Apa kita mau ekspor angin, kalo nggak bangun industri dan pangan nasional."

Dia menambahkan, apabila Indonesia hanya mengekspor hasil rakitan, maka impor komponen akan ikut meningkat.

"Kita hanya jadi tukang jahit. Pasti defisit perdagangan meningkat, nilai tambah ada di luar negeri. Maka solusinya, harus bangun industri dasar dan industri nilai tambah," papar Masyhuri.

Masyhuri juga mengungkapkan saat ini Indonesia telah tertinggal dengan negara maju sekitar 30 tahun di bidang penelitian dan pengembangan, sehingga sulit untuk menjadi produsen, bahkan malah menjadi 100 persen pasar dunia.

"Sampai kapan kita mau begini. Bahaya dari luar negeri diboikot impor pangannya, dari dalam negeri ancaman disparitas. Ini sumber masalah perpecahan NKRI," tegas dia.

Menurut dia, untuk mengatasi ancaman disparitas kesejahteraan akibat ketidakadilan yang sudah berlangsung puluhan tahun itu, membutuhkan waktu. Pemerintah harus mulai dengan reformasi ekonomi, menggencarkan pembangunan infrastruktur. Namun, imbuh Masyhuri, ini harus dibarengi dengan kegiatan ekonomi.

"Infrastruktur tidak ada daya guna tanpa pembangunan ekonomi. Ekonomi tak bisa dibangun tanpa infrastruktur. Jadi ini satu kesatuan, infrastruktur dan kegiatan ekonomi harus jalan bersama," papar dia.YK/SB/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top