Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Keuangan Negara Makin Berat Menanggung Utang BLBI

Indonesia Harus Mampu Perbaiki Kurs Rupiah

Foto : koran jakarta
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah harus mampu memperbaiki kurs rupiah yang kini terperosok hingga mencapai level terlemah dalam 20 tahun terakhir.

Untuk itu, pemerintah mesti fokus pada dua hal, yakni solusi jangka pendek, seperti intervensi di pasar uang dan obligasi negara, serta kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI).

Kemudian solusi jangka panjang, yaitu membangun kemandirian di bidang pangan, industri nasional terutama barang konsumsi, dan energi.

Ini merupakan upaya untuk mengurangi kebergantungan pada impor sekaligus mengurangi defisit transaksi berjalan yang menjadi faktor utama pelemahan rupiah.

Pada perdagangan di pasar spot, Rabu (5/9), nilai tukar tukar rupiah ditutup melemah 3 poin atau 0,02 persen ke level 14.938 rupiah per dollar AS. Ini merupakan pelemahan dalam tujuh hari perdagangan secara berturut-turut.

Terkait dengan kinerja rupiah, Direktur Pusat Studi Masyarakat, Irsad Ade Irawan, mengemukakan solusi jangka pendek hanya bertahan sebentar.

Tidak ada negara di dunia yang bisa bertahan dengan solusi jangka pendek. "Untuk solusi jangka panjang, tidak ada cara lain selain membangun kemandirian pangan, industri nasional terutama barang konsumsi, dan energi.

Kemandirian itu tidak mungkin berhasil tanpa ada komitmen negara," papar Irsad, ketika dihubungi, Rabu. Bahkan, lanjut dia, negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa pun mendukung penuh dua hal strategis tersebut. "Kalau negara adidaya saja mendukung, bagaimana Indonesia yang lemah.

Petani Indonesia disuruh bersaing dengan pedagang atau eksportir yang didukung negaranya. Mustahil kita bisa menang," tukas Irsad.

Sebenarnya, menurut dia, Indonesia mampu memproduksi pangan sendiri, tapi selama ini petani nasional justru dimatikan dengan pangan impor.

Pengusaha nasional juga mampu membangun industri konsumsi sendiri. Akan tetapi, kondisi dalam negeri tidak memberikan kepastian hukum dan iklim investasi yang nyaman. Biaya siluman begitu tinggi sehingga menimbulkant high cost economy.

"Akibatnya, kita kalah dengan barang impor murah yang disubsidi negara eksportir untuk memburu devisa mereka. Tarif, jalan satu-satunya untuk menekan impor barang konsumsi," kata Irsad.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Imron Mawardi, menambahkan keuangan negara saat ini juga cukup berat. Sekitar 40 persen alokasi APBN habis untuk menyicil utang.

Hampir 20 tahun negara menanggung utang lama dari obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Hanya dari akumulasi bunga di atas bunga obligasi rekap sudah mencapai lebih dari 3.000 triliun rupiah saat ini. Akibatnya, akumulasi utang negara yang jatuh tempo tahun ini lebih dari 400 triliun rupiah.

Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan nasional, tapi habis untuk membayar utang yang sama sekali tidak produktif. "Ini menjadi sumber utama defisit transaksi berjalan yang membuat depresiasi rupiah terus berlanjut.

Ini sumber permasalahan yang berantai sehingga APBN tidak dialokasikan untuk sektor produktif dalam pembangunan ekonomi nasional," jelas dia.

Sektor Produktif

Ditambah lagi dengan kolusi di sektor perbankan, sehingga jor-joran menggelontorkan kredit 900 triliun rupiah hanya untuk sektor properti yang sekarang bubble.

Dana masyarakat yang semestinya diintermediasikan oleh perbankan untuk kredit sektor yang produktif, khususnya pangan dan industri nasional dalam sektor riil, justru dialihkan untuk properti yang tidak produktif.

Menurut Irsad, secara sederhana bisa dikatakan, apabila kebutuhan sandang, pangan, dan energi bergantung impor maka dari manapun uangnya pasti akan habis, dan utang terus menggunung.

"Kalau semua konsumsi kita dari hasil utang, suatu saat utang pun habis, terutama pada saat AS menarik kembali program QE (quantitative easing) I sampai III yang membanjiri pasar uang dunia sampai 3,7 triliun dollar AS," jelas dia.

Pada saat arus balik dana QE tadi maka likuiditas global mengering seperti saat ini. Negara seperti Indonesia yang paling lemah membangun kemandirian pangan, industri dasar, industri konsumsi, dan energi akan menjadi yang pertama terkena imbasnya. YK/SB/ahm/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top