Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Indonesia Bisa Mandiri bila Tidak Menghendaki Impor Pangan

Indonesia Dibuat Seolah Kekurangan Pangan agar Terus Melakukan Impor

Foto : Sumber: Kementerian Perdagangan, BPS
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Impor pangan dinilai kerap merugikan para petani di dalam negeri. Kerugian itu terjadi karena permainan dalam impor pangan demi memenuhi keinginan segelintir pihak yang mencari keuntungan atau para pemburu rente (rent seeker).

Hal itu dikemukakan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, saat penutupan Rapat Kerja Nasional V PDI Perjuangan di Jakarta, Minggu (26/5).

Presiden ke-5 RI itu menjelaskan bahwa ketika impor pangan dilakukan maka seharusnya perlu dipertanyaan, apakah sebenarnya masih perlu impor? "Kalau mau, ini dia. Kalau mau, sebenarnya enggak perlu impor," kata Megawati.

Indonesia seharusnya bisa apabila tidak menghendaki impor pangan, karena potensi pertanian Indonesia yang sangat besar. Namun, pemerintah justru tetap melakukan impor. "Bahannya kita, potensinya luar biasa. Tetapi memang sengaja harus ada impor pangan. Kenapa ayo? Saya (pernah-red) di Komisi IV. Saya tahu permainan untuk impor itu," jelas Mega.

"Kalau saya mau ikut, saya sudah tambah kaya. Tapi tidak, saya tidak pernah ikut di dalam permainan tersebut. Sebenarnya kan ada jalannya," katanya.

Saat Mega menjabat sebagai Presiden pun sebenarnya dia telah meminta agar impor pangan dilakukan dengan teliti. Dengan mempertimbangkan hasil dari panen raya yang ada di dalam negeri.

"Itu berarti jelas, cukup atau tidak. Tapi kalau dilihat sekarang, enggak. Selalu dibuat sedemikian rupa, sepertinya selalu kekurangan. Itu pokok persoalan yang seharusnya. Kalian yang punya negara harus memikirkan hal tersebut," tantang Mega.

Putri Proklamator itu juga menyinggung soal permainan impor pangan yang menjadi lahan bagi para oknum mencari keuntungan secara pragmatis. Pengalaman itu disampaikannya karena pernah menjabat sebagai anggota Komisi IV DPR yang membidangi pertanian dan pangan saat itu.

"Saya tiga kali tidak pernah pindah komisi. Coba bayangkan. Mungkin (mobil) Mercy saya udah berapa deh. Waduh. Gila kok yang namanya urusan impor itu. Tapi kenapa? Karena ada bagian mereka yang menikmati, yang lupa diri, yang merasa sudah pada zona nyaman," terang Mega.

"Bayangkan lho. Nah, itu yang membuat secara praktis sepertinya petani sekarang sudah tidak punya apa ya, sudah kayak enggak mau jadi petani. Kan ini jadi persoalan. Tanah ada, bibit ada, orang yang ngerjain tidak ada. Ini pikiran kalian lho di daerah. Impor itu pragmatis banget dibandingkan upaya memberdayakan petani bangsa sendiri," tegas Mega.

Keuntungan Besar

Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, membenarkan bahwa importasi beras umumnya memberi keuntungan yang relatif besar.

Sebagai contoh, sekarang harga beras medium di Thailand dan Vietnam sekitar 5.000 rupiah per kilogram (kg), sedangkan harga jual di Indonesia 13.000 rupiah per kg, sehingga ada marjin atau selisih sebesar 8.000 rupiah per kg.

"Kita mengimpor biasanya hingga dua juta ton, silakan dihitung rente berupa selisih harganya = Rp8.000 x 2 juta ton bisa mencapai 16 triliun rupiah, betapa menguntungkan bagi importir," kata Dwijono.

Sebaliknya, bagi petani, importasi bisa menurunkan harga jual hingga di bawah 13.000 rupiah per kg, sehingga sangat merugikan petani. Apalagi jika importasi itu dilakukan saat panen sehingga harga gabah/beras akan tertekan lebih rendah lagi.

"Maka dari itu, Bapanas diharapkan bisa merencanakan pengelolaan pangan yang baik, termasuk masalah impor ini," kata Dwijono.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, sepakat dengan yang disampaikan Megawati. Menurut Qomar, apabila mengandalkan impor untuk pemenuhan kebutuhan pangan, justru mengancam ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang.

"Karena setiap kali impor terjadi akan ada tekanan harga di tingkat petani yang sampai pada tingkatan harga yang merugikan petani," tegas Qomar.

Kondisi tersebut, terangnya, akan mempengaruhi motivasi petani untuk memacu produksi, termasuk mematikan minat generasi muda untuk bertani. Dengan tren impor yang semakin besar maka secara perlahan akan menjadikan masyarakat semakin bergantung pada impor.

Impor pangan itu, papar Qomar, sudah terjadi pada banyak komoditas dan akan semakin banyak lagi apabila kebijakan impor itu tidak dikendalikan. Sebagai imbasnya, petani semakin semakin termarginalkan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top