Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Indonesia Belum Juga Bangun Bandar Antariksa, Apa Kendalanya?

Foto : AFP

Peluncuran kapsul kargo Dragon ke luar angkasa dengan roket Falcon 9 dari Cape Canaveral, Florida, AS pada 2017.

A   A   A   Pengaturan Font

Yaries Mahardika Putro, Universitas Surabaya dan Taufik Rachmat Nugraha, Universitas Padjadjaran

Indonesia sudah mengembangkan satelit antariksa sejak tahun 1963, hanya enam tahun sejak peluncuran Sputnik 1, satelit buatan pertama milik Uni Soviet, pada tahun 1957.

Awal tahun 1963, Indonesia membuat dan meluncurkan roket Sonda yang menjadi satelit pertama yang diluncurkan di Asia Tenggara, dan kedua di Asia, setelah Jepang.

Semenjak itu, Indonesia mulai aktif mengembangkan kegiatan keantariksaan.

Kegiatan keantariksaan adalah kegiatan yang berhubungan dengan antariksa, mulai dari peluncuran roket, pengoperasian satelit, kegiatan riset, dan penggunaan ruang antariksa untuk tujuan-tujuan ekonomi seperti penyewaan transponder (alat pemancar), bisnis jasa peluncuran satelit, pembuatan satelit, serta bisnis pembuatan roket peluncuran.

Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan industri yang berkaitan dengan kegiatan keantariksaan karena posisi geografisnya yang berada di khatulistiwa.

Daerah ekuator memiliki beberapa keuntungan sebagai tempat peluncuran roket atau satelit karena beberapa alasan, salah satunya adalah adanya tambahan daya dorong yang muncul dari gaya rotasi bumi yang bisa menghemat bahan bakar roket.

Bisnis peluncuran roket antariksa pada tahun 2040 diproyeksikan mencapai US$1 triliun atau setara dengan Rp 15 ribu triliun atau naik hampir tiga kali lipat dibanding nilai tahun ini.

Namun, masih ada kendala untuk dapat mengembangkan industri ini di Indonesia, antara lain karena masalah regulasi dan keberadaan lembaga yang bertanggung jawab pada sektor ini.

Rencana Bangun Bandar Antariksa Belum Dieksekusi

Indonesia sudah mengesahkan Undang-Undang (UU) Keantariksaan pada tahun 2013. Ahli Hukum Udara dan Antariksa dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Ida Bagus Rahmadi Supancana, mengatakan bahwa UU ini visioner dan melihat jauh ke depan.

Ini karena substansi dari UU Keantariksaan juga mengatur beberapa ketentuan termasuk pembangunan bandar antariksa dan komersialisasi antariksa di Indonesia. Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya.

Sejak peluncuran Sputnik 1 di tahun 1957, setidaknya ada 28 bandar antariksa di seluruh dunia yang telah digunakan untuk melayani peluncuran roket, baik yang mengangkut satelit maupun manusia, ke orbit Bumi.

Namun, dari 28 bandar antariksa tersebut hanya 3 bandar yang masih aktif melayani peluncuran roket bermuatan satelit dan manusia ke orbit Bumi, yaitu Kennedy Space Center yang berada di Florida, Amerika Serikat (AS), milik National Aeronautics and Space Administration (NASA); Kosmodrom Baikonur yang berada di selatan Kazakhstan milik Roscosmos, Rusia; dan Jiuquan Satellite Launch Center yang berada di Cina, milik pemerintah Cina.

Meningkatnya permintaan peluncuran satelit dan kegiatan eksplorasi di antariksa berimplikasi terhadap peningkatan jumlah lokasi peluncuran roket ke orbit Bumi. Ini bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia.

Guna mengakselerasi rencana pembangunan bandar antariksa di Indonesia, maka pada tahun 2017, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan 2016 - 2040 yang juga mengatur pengoperasian bandar antariksa di Indonesia.

Apabila kita merujuk kepada dokumen tersebut, seharusnya dalam kurun waktu 2021 hingga 2025, pemerintah telah melakukan pembangunan dan pengoperasian awal bandar antariksa.

Namun, hingga saat ini pemerintah Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum menentukan lokasi yang akan dijadikan sebagai bandar antariksa Indonesia. BRIN tampaknya masih menggodok beberapa daerah kandidat pembangunan bandar antariksa, diantaranya adalah Pulau Morotai di Maluku dan Pulau Biak di Papua.

Dalam artikel ini, kami mencoba menjabarkan dua alasan besar mengapa implementasi Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan terhambat.

1. Tantangan Regulasi Internasional

Satu kendala utama terkait kendala eksternal terkait regulasi internasional yang mengatur penggunaan roket sebagai senjata.

Indonesia harus mendapatkan izin dengan menjadi anggota Mission Technology Regimes Control (MTCR) untuk dapat mengimpor bahan-bahan pembuat roket dan roket peluncur untuk dapat diluncurkan dari bandara antariksa Indonesia. Tanpa izin dan keanggotaan ini, maka pembangunan bandar antariksa akan menjadi sia-sia belaka karena Indonesia tidak bisa menerima roket atau pun membuat roket.

Kendala yang dihadapi terkait menjadi anggota MTCR ialah tantangan politik teknologi yang mana Indonesia harus mendapatkan "lampu hijau" dari negara-negara anggota MTCR untuk penguasaan teknologi peroketan, dan tentu saja perlu kesiapan sumber daya manusia serta anggaran.

2. Ketidakjelasan Otoritas

Selain itu, ada kendala internal yang berkaitan dengan ketidakjelasan otoritas lembaga yang dapat mengurusi kegiatan keantariksaan ini.

Sebelumnya, Indonesia memiliki Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Namun, setelah dileburnya LAPAN ke dalam BRIN, kendali otoritasnya menjadi tidak jelas.

Sebelum proses peleburan terjadi, LAPAN merupakan lembaga pemerintah non-kementerian satu-satunya yang bertugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya, menjadi penyelenggara keantariksaan di Indonesia, dan menjadi perwakilan pemerintah Indonesia dalam pertemuan internasional terkait keantariksaan.

Setelah peleburan terjadi, tugas pengembangan industri keantariksaan secara keseluruhan menjadi terpecah. Saat ini, organisasi yang memiliki tugas melakukan penelitian dan pengembangan kedirgantaraan adalah Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa. Organisasi tersebut merupakan organisasi riset yang berada di dalam BRIN dan bertanggung jawab kepada Kepala BRIN.

Selain itu, BRIN juga membentuk Indonesian Space Agency (INASA) yang bertugas untuk mewakili Indonesia pada sejumlah pertemuan internasional yang terkait dengan keantariksaan, tugas yang dulunya diemban oleh LAPAN.

Proses yang terjadi saat ini di BRIN menjadi beban birokrasi yang cukup besar. Padahal dengan desentralisasi lembaga riset sebelumnya, kegiatan penelitian dan penyelenggaraan keantariksaan di Indonesia dapat dilakukan secara jelas, terarah dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya.

Melihat banyaknya tantangan di atas akan memberikan dampak terhadap kelangsungan dan kelancaran kegiatan keantariksaan di Indonesia, salah satunya adalah terhambatnya implementasi pelaksanaan Rencana Induk Keantariksaan 2016-2040, yang sebenarnya menghambat peluang Indonesia untuk mengambil keuntungan dalam perkembangan industri satelit dan roket global yang terus berkembang.The Conversation

Yaries Mahardika Putro, Lecturer in Air and Space Law, Universitas Surabaya dan Taufik Rachmat Nugraha, Research Fellow at The Indonesian Centre for the Law of the Sea (ICLOS), Universitas Padjadjaran

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top