Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Indonesia Alami Populisme Politik yang Seperti Bunglon Memainkan Dukungan Masyarakat

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Menurut definisinya, populisme adalah sebuah metode pendekatanpolitik yang bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya tidak didengar oleh pemerintah. Populisme bisa terjadi pada ideologi apapun.

Dalam aktivitasnya, populisme selalu membagi masyarakat menjadi dua kelompok, yakni elit yang korup dan masyarakat yang dirugikan. Tokoh politik populis umumnya turun kepada kelompok mayoritas dan menampilkan dirinya sebagai 'juru selamat'.

Banyak tokoh politik menggunakan populisme sebagai strategi politiknya. Mereka yang dikenal populis antara lain adalah Donald Trump, Erdogan, Bolsonaro, Narendra Modi hingga Hitler.

Dalam acara Seminar Pra Muktamar dan 'Aisyiyah ke-48, di Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMA), Senin (23/5), peneliti senior ilmu politik Burhanuddin Muhtadi menyebut gejala populisme politik telah terjadi di Indonesia dan mulai muncul sejak tahun 1999.

"Populisme bisa muncul di banyak tempat, baik di masyarakat demokrasi atau non-demokrasi. Dalam kasus di Indonesia, termasuk di banyak negara, populisme itu memanfaatkan majoratianisme. Di Indonesia yang kebetulan mayoritas Islam, makanya populisme selalu berkelindan dengan politik identitas. Karena identitas mayoritas itulah yang dianggap pas dengan semangat mereka yang paling menyuarakan masyarakat banyak," ungkapnya dikutip dari Muhammadiyah.or.id.

Ukuran populisme sendiri kata dia sangat liat. Karenanya, populisme bukan termasuk dari jalan yang wasathiyah atau moderat. Uniknya, populisme ini hampir tidak muncul di negara otoriter.

"Populisme seperti bunglon yang bisa berubah kulitnya menyesuaikan kondisi di mana dia berada. Kalau masyarakatnya kanan dia akan eksploitasi ideologi kanan, kalau masyarakatnya kiri dia akan sangat kiri, kalau masyarakatnya Islam dia akan menggali identitas Keislaman," jelasnya.

Selain populisme membuat masyarakat tidak rasional, Burhanuddin juga menyebut bahwa populisme adalah penyakit bagi demokrasi karena kaum populis cenderung melakukan manipulasi narasi demi kepentingan politik elektoral sesaat.

Populisme juga hampir selalu bersifat eksklusif dan memiliki retorika yang sifatnya intoleran, rasis, dan xenopobia untuk mengeliminasi tudingan mereka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka.

Melihat kondisi yang terjadi, Burhanuddin berharap Muhammadiyah memimpin di depan untuk terus menyuarakan moderasi meskipun pendapat itu tidak populer karena mayoritas masyarakat telah tercebur dalam doktrin populisme.

"Di sini peran elit termasuk Pimpinan Muhammadiyah adalah jangan larut dalam emosi masyarakat, kita harus mencerdaskan umat. Jadi umat itu harus diberitahu apa yang terjadi meskipun itu tidak populer. Jebakan bagi politisi dan tokohagama karena mereka takut tidak populer," tegasnya.


Redaktur : Eko S
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top