Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Laporan BPS I Masyarakat Masih Menganggap "Jatah Preman" itu Sesuatu yang Wajar

Indeks Perilaku Antikorupsi Stagnan Lima Tahun Terakhir

Foto : Sumber: BPS - koran jakarta /ones
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (15/7), melaporkan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) masyarakat Indonesia pada 2024 berada di angka 3,85 poin. Dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2024 maka angka tersebut masih berada 0,29 poin di bawah target.

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, Senin (15/7), mengatakan nilai IPAK yang mencapai 3,85 mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan dengan IPAK 2023 yang mencapai 3,92.

"Penurunan IPAK tentunya merupakan indikasi bahwa masyarakat lebih permisif terhadap perilaku korupsi," kata Amalia.

Menurut Amalia, penurunan itu disebabkan melemahnya indeks persepsi dan indeks pengalaman masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan publik.

IPAK, jelasnya, merupakan ukuran yang mencerminkan perilaku antikorupsi di masyarakat yang diukur dengan skala 0 hingga 5. Semakin tinggi nilai indeks ini maka semakin tinggi budaya antikorupsi di masyarakat. Namun sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK maka masyarakat semakin permisif terhadap perilaku korupsi.

Menurut dia, indeks tersebut menggambarkan perilaku dan pengalaman seseorang terkait korupsi skala kecil (petty corruption), serta grand corruption atau penyalahgunaan kekuatan tingkat tinggi yang menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan masyarakat.

Lebih lanjut, dia mengatakan IPAK 2024 dihitung berdasarkan hasil survei perilaku antikorupsi yang dilaksanakan di 186 kabupaten/kota sampel untuk estimasi level nasional. Jumlah sampel blok sensus dalam survei ini sebanyak 1.100, dengan target jumlah sampel rumah tangga mencapai 11.000.

Survei IPAK dilaksanakan secara tatap muka pada 22 April-22 Mei 2024 dengan data yang terkumpul mencakup pendapat atau persepsi terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal penyuapan, gratifikasi, pemerasan, serta nepotisme. IPAK Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir mengalami stagnasi di angka 3,8 hingga 3,9 poin.

Semakin Buruk

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta tanggapannya mengatakan pesimisme masyarakat saat ini sangat wajar, dan sepertinya ke depan semakin buruk. Setidaknya hal ini disebabkan beberapa hal, pertama, dalam kurun waktu lim tahun terakhir, korupsi semakin menjadi dan di semua lini.

"Ini tidak hanya di kementerian/lembaga, tetapi juga di pemda (pemerintah daerah) dan hingga ke pemerintah desa," kata Badiul.

Kedua, lanjut Badiul, perilaku penegak hukum, misalnya kasus yang terjadi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian, dan lainnya. Ketiga, lemahnya komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum kepada aparat yang korup.

"Masyarakat dihadapkan pada situasi yang serba tidak pasti, karena perilaku korup para oknum penyelenggara negara. Sehingga ketika IPAK mengalami penurunan, itu bukti nyata betapa buruknya komitmen pemerintah," kata Badiul.

Peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, menilai laporan BPS terkait semakin rendahnya budaya antikorupsi bakal berpengaruh pada penilaian investor untuk menanamkan modalnya di RI.

Laporan itu, papar Huda, akan berhubungan dengan kemudahan berbisnis di RI atau ease of doing business yang mengukur kualitas regulasi di setiap negara serta dampaknya terhadap pelaku usaha.

"Pasti akan berpengaruh. Akhirnya semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk memulai usaha di Indonesia. Masyarakat menganggap 'jatah preman' itu wajar," papar Huda.

Dia menjelaskan bahwa masyarakat sekarang bukan lebih permisif terhadap perilaku antikorupsi, namun memang sistem yang membuat semua perilaku koruptif dianggap wajar. Salah satu contohnya dalam sub IPAK mendapatkan pekerjaan dengan bantuan orang dalam atau memberi sumbangan yang dinilai masyarakat semakin wajar.

Sistem rekrutmen pegawai sekarang yang kental orang dalam serta sogokan untuk abdi negara (PNS, polisi, TNI, dan lainnya) menyebabkan masyarakat menganggap hal tersebut sudah masuk dalam sistem. Orang yang mengaku diberikan tawaran untuk masuk menjadi pegawai dengan sogokan juga meningkat.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai laporan BPS menunjukkan pemerintah, khususnya lembaga lembaga pelayanan publik, semakin tidak dipercaya oleh masyarakat.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top