Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kondisi DKI Jakarta I Kualitas Hidup di Jakarta Semakin Menurun karena Polusi Udara

Ibu Kota Harus Pindah, Jakarta Sudah Salah Urus

Foto : Koran Jakarta /M Fachri

Polusi Mengancam Kesehatan Warga I Suasana langit perkotaan Jakarta berselimut kabut polusi. Kondisi polusi di Jakarta yang sudah sering menjadi kota dengan udara terburuk dunia ini mengancam kesehatan warga.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan. Beberapa pengukuran menunjukan kualitas udara Jakarta dalam kondisi polusi parah dan tidak sehat bagi warga untuk aktivitas di luar ruangan.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan hasil analisa Separate menunjukkan buruknya kualitas udara Jakarta sepanjang tahun disebabkan oleh pembakaran bahan bakar minyak (BBM) kualitas rendah oleh kendaraan bermotor, aktivitas industri di sekitar Jakarta, dan polusi dari PLTU yang berada di sekitar Jakarta.

Polusi di udara, jelas Fabby, merupakan silent killer dan biaya sosial ekonominya harus ditanggung masyarakat yang terkena penyakit akibat udara yang kotor, turunnya produktivitas. Sedangkan biaya kesehatan publik yang ditanggung pemerintah akhirnya sangat besar. Memang, selama ini nilainya tidak terkuantifikasi.

Menurut Fabby, pemerintah perlu sungguh-sungguh mengatasi polusi udara ini. Apalagi, Satgas sudah dibentuk tahun lalu, dan seharusnya strategi dan rencananya sudah ada.

"Karena sumber polusi dominan sepanjang tahun adalah dari pembakaran BBM, maka menaikan kualitas BBM yang dijual di masyarakat menjadi salah satu yang urgen. Seharusnya bahan bakar yang dijual di Indonesia minimal di level Euro IV, dan mengarah ke Euro VI. Presiden harus segera memerintahkan Pertamina untuk memiliki rencana pengadaan BBM Euro IV dan eliminasi BBM dengan kualitas buruk, yang bisa dieksekusi di akhir tahun ini. Selain itu, pengetatan uji emisi kendaraan bermotor dan pengetatan kontrol polusi dari PLTU harus dilakukan," tegas Fabby.

Terkait emisi PLTU, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah menyatakan bahwa PLTU tidak berkontribusi besar karena setiap PLTU sudah dipasang alat pengendali polusi/emisi udara.

"Saya mendesak, dalam rangka transparansi informasi dan mendorong partisipasi publik dalam melakukan pengawasan, data-data kualitas emisi dari PLTU dapat diakses oleh publik. Data-data itu di KLHK karena setiap PLTU dipasangi alat continuous emission monitoring system (CEMS) yang dapat menyampaikan data kualitas udara yang keluar dari cerobong secara real time," katanya.

Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID) Jakarta, Nazar EL Mahfudzi, yang diminta pendapatnya mengatakan, Jakarta kini menghadapi berbagai tantangan sehingga tidak lagi layak sebagai pusat pemerintahan dan kota besar yang nyaman dihuni.

Kualitas hidup di Jakarta, jelasnya, semakin menurun seiring dengan meningkatnya polusi udara, pengambilan air tanah yang berlebihan, serta biaya hidup yang tinggi.

"Jakarta cepat tenggelam karena pengambilan air dari bawah tanah yang tidak terkontrol. Selain itu, semakin padatnya penduduk membuat banyak orang harus tinggal jauh dari tempat kerja mereka. Akibatnya, waktu perjalanan pulang pergi bisa mencapai 4 jam setiap hari," ungkapnya.

Situasi itu tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kehidupan keluarga.

"Jakarta tidak kondusif untuk keluarga. Tidak ada cukup taman atau ruang hijau karena semuanya sudah beralih fungsi menjadi rumah atau bangunan komersial. Selain itu, daya beli masyarakat menurun akibat biaya hidup yang tinggi," tambah Nazar.

Dia pun menekankan pentingnya pemindahan ibu kota ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Hal itu dinilai bukan hanya langkah strategis, namun juga untuk memastikan masa depan Indonesia bisa tumbuh berkelanjutan.

Diminta terpisah, Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Buana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Listra Firgia, menegaskan sebagai penduduk yang berdomisli di Kalimantan, mereka tidak mau IKN salah urus seperti Jakarta.

Listra, yang sedang menempuh pendidikan Doktor di Universitas Gunadarma Jakarta, mengatakan Jakarta memang sudah rusak total. Belasan juta pekerja penduduk menengah bawah di Jakarta menghabiskan waktu mereka di jalan 4-5 jam sehari dari 12 jam hari produktif.

Polusi udara terburuk dunia selalu berada di nomor 1, 2, dan 3 secara rutin. PLTU Batu Bara dari pantai Utara dan Banten, dan jutaan kendaraan setiap hari menjadi pemicunya.Belum lagi sekitar 70 persen rumah tanggga dan gedung-gedung mengandalkan air tanah.

Selain itu, biaya hidup tinggi bagi pekerja yang menyebabkan gaji bulanan mereka defisit sehingga harus ditutupi dengan menarik piutang dari pinjaman online (pinjol). Pinjol pun mengenakan bunga rata-rata 2 persen per bulan atau 24 persen per tahun yang membuat warga semakin miskin, walaupun tercatat sebagai wilayah dengan UMR tertinggi nasional.

Peredaran uang yang terkonsentrasi di Jakarta merupakan pusat perputaran uang nasional, sekitar 70 persen uang beredar di Jakarta, Padahal hanya 17 persen dari PDB dan hanya 5 persen total penduduk secara nasional yang bekerja di Jakarta. Tidak Ada pemerataan ke daerah.

Utang secara nasional pun 70 persen di Jakarta dengan kontribusi hanya 17 persen ke PDB. Sementara jutaan anak-anak dan balita teracuni polusi udara yang menjadikan Jakarta sebagai daerah dengan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) tertinggi nasional. Tidak ada sama sekali ruang terbuka atau taman terbuka untuk menikmati hidup yang berkualitas.

"Semua diambil kroni dan oligarki kekuasaan untuk membangun mal dan gedung-gedung beton pencakar langit," kata Listra.

Padatnya kota juga berdampak pada tingkat kecelakaan lalu lintas. Di mana kecelakaan kendaraan bermotor yang menyebabkan patah tulang naik 43 persen setiap tahunnya mencapai 8.500 kasus.

"Sungguh, ketimpangan kehidupan rakyat Indonesia semakin melebar dan sangat rentan dengan konsentrasi keuangan dan usaha di pusat Jakarta," katanya.

Harus Dipilih

Mencermati kondisi tersebut, dia pun mengimbau agar Wali Kota di Jakarta dipilih oleh masing-masing penduduk daerah, bukan ditunjuk oleh Gubernur DKI. Pemerintah Kota harus diberi hak otonomi agar pendapat daerah mendekati sesuai persentase penduduk masing-masing daerah untuk pemerataan pembangunan.

"Sekarang ini tugas walikota di Jakarta sangat berat. Jakarta Timur misalnya, dengan penduduk 3,3 juta jiwa, hanya dipimpin seorang walikota yang tidak punya kekuasaan penuh. Ini harus diubah," katanya.

Menurutnya, jangan sampai dana APBD yang mencapai sekitar 80 triliun rupiah setiap tahunnya habis untuk membiayai ambisi politik pemimpinnya yang ingin jadi Presiden.

Pemerintah harus belajar pada Kota Tokyo Jepang, sebagai kota dengan populasi terpadat di dunia, tetapi kotanya tertata rapi, asri, bersih, dan pemerataan ekonominya tercapai dengan baik. Hal itu karena Tokyo menggunakan sistem 23 Wards di mana masing- masing berfungsi sebagai kota kecil.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top