Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

IAI Imbau Arsitek Segera Memiliki Surat Tanda Regulasi Arsitek

Foto : istimewa

IAI

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berharap, para arsitek di Indonesia mengurus dan memiliki Surat Tanda Regulasi Arsitek (STRA). Saat ini dari 26 ribu anggota IAI, baru sekitar 4.400 yang telah memiliki STRA, yang dikeluarkan oleh Dewan Arsitek Indonesia (DAI).

Selain STRA arsitek juga harus memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi di tempat arsitek berkarya. Dua hal ini penting dimiliki oleh arsitek dengan tujuan utamanya untuk melindungi arsitek lokal.

"Izin diperlukan karena pemilik otoritas kawasannya adalah pemerintah provinsi. Misalkan bila seorang arsitek memiliki izin di Jawa Barat (Jabar), bila ia akan melakukan kegiatan di provinsi lain, Ia harus berpartner dengan kantor arsitek di daerah tersebut," kata Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto melalui keterangannya Senin (19/2).

Georgius menambahkan dalam rangka mengamplifikasi peran serta arsitek dalam masyarakat, serta kehadiran arsitek Indonesia di kancah Regional dan Internasional, IAI akan pada 22 hingga 25 Februari 2024, menyelenggarakan ARCH:ID ke 4. Acara ini sebagai berupa festival-eksibisi dan konferensi tahunan terbesar.

"ARCH:ID merupakan kegiatan pertama setiap tahun yang dilakukan dalam konteks 4 negara. Di Indonesia ARCH:ID diadakan pada Februari 2024, Thailand ASA FORUM pada Mei 2024. Malaysia DATUM pada Juli 2024 dan Singapura ARCHI FEST pada September 2024.

Menurut Georgius, di Indonesia regulasi yang dimiliki profesi arsitek sedikit terlambat, baru pada tahun 2017, Indonesia memiliki undang-undang arsitek yang memiliki konsekuensi hukum. Jadi seorangarsitek itu bukan hanya menggambar atau mendesain bangunan, tapi memiliki tanggung jawab atas hasil karyanya meliputi empat hal yakni keandalan, keamanan, keselamatan dan kesehatan.

"Saat ini anggota IAI yang tercatat per Januari 2024 sebanyak 26.000, tapi sebagian besar berdomisili di kota-kota besar. Ini dikarenakan pembangunan lebih banyak di kota-kota besar terutama daerah Jawa. Tapi sekarang, kita bersyukur banyak pembangunan jalan tol seperti di Sumatera, Sulawesi, yang tentunya membutuhkan tenaga arsitek di tempat tersebut," ujarnya.

Georgius menjelaskan, hingga hari ini pemilik STRA di Indonesia baru sekitar 4.400-an atau dengan rasionya 1:80.000 orang, dibandingkan dengan Tiongkok yang rasionya mencapai 1:15.000 orang.Tentu jauh sekali arsitek Indonesia tertinggal, jadi tugas IAI sekarang mendorong arsitek Indonesia memiliki STRA, agar juga bisa bersaing dengan arsitek asing.

Harus diakui lanjut Georgius, kehadiran arsitek asing ini merugikan banyak sisi, seperti dari sisi pajak, income untuk arsitek lokal. Bisa-bisa arsitek Indonesia hanya jadi penonton. Karena yang berkaryahanya arsitek asing.

Selama ini arsitek Indonesia, hanya jadi makloon dari arsitek asing. Hal ini banyak terjadi di proyek proyek swasta. Di Indonesia arsitek asing selama ini banyak mengambil porsi di bangunan mega proyek seperti apartemen dan bangunan pencakar langit lainnya.

"Sebenarnya masyarakat kita kurang terinformasikan, bahwa arsitek Indonesia juga mampu untuk merancang bangunan seperti yang dihasilkan oleh arsitek asing. Kenapa arsitek lokal kalah bersaing dengan arsitek asing untuk mendapatkan proyek di daerahnya, terutama proyek dari pemerintah. Ini disebabkan banyak yang belum memahami, bahwa STRA bisa dipergunakan untuk semua prosedur konstruksi," bebernya.

Saat ini kata Georgius, praktek arsitek asing di Indonesia ada tiga macam. Pertama arsitek asing yang berkantor di Indonesia, namun memiliki proyek di seluruh dunia. Hal ini dilakukan untuk mendapatkantenaga kerja yang lebih murah di Indonesia.

Kedua arsitek asing yang membuka kantor di Indonesia dan mencari proyek arsitek di Indonesia. Alasannya karena di wilayah Asean, di Indonesia lah yang proyeknya masih sangat banyak, baik swasta maupun proyek pemerintah.

"Ketiga, arsitek asing yang datang dari luar dengan membawa investor dari negara asalnya untuk membangun proyek di Indonesia. Ini banyak dilakukan karena tingkat pengawasan yang rendah, seharusnya arsitek asing itu juga seharusnya bekerjasama dengan arsitek lokal," tuturnya.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top