I Nyoman Nuarta
Foto: ISTIMEWAJika kesenian tidak dipahami secara menyeluruh dan utuh, bisa menimbulkan kekeliruan yang berdampak pada pertikaian dan gejolak merosotnya nilai hidup suatu negara. Negara ini seharusnya bisa maju dalam bidang kesenian sehingga bangsa ini punya harga diri, selanjutnya budaya itu bisa "dijual". Budaya di Tanah Air bisa dimanfaatkan dengan kreatif dan baik, antara lain untuk pariwisata.
Kalau melihat kebudayaan Indonesia yang sekarang ini sangat besar dan perlu dikembangkan. Artinya, jika bicara soal kebudayaan, jangan hanya berpikir warisan. Harus ada yang menjaga kebudayaan itu, kemudian ada yang mengembangkannya, kemudian ada yang mencari hal yang baru, tanpa dia harus kehilangan ciri-cirinya atau identitasnya.
Untuk mengetahui bagaimana seharusnya kebudayaan dan kesenian, termasuk seni patung dikembangkan di Indonesia, wartawan Koran Jakarta, Frans Ekodhanto berkesempatan mewawancarai seniman patung terkemuka di Indonesia, I Nyoman Nuarta, di Bali, beberapa waktu lalu. Berikut petikan selengkapnya.
Patung Proklamasi adalah salah satu karya yang fenomenal yang tak terlepas dari campur tangan kreatif Anda. Bagaimana ceritanya?
Patung proklamasi ikut sayembara. Waktu itu masih mahasiswa sekitar 1978, tingkat akhir. Saya ditelepon panitia dan mengajak kerja sama. Panitia menyampaikan bahwa karya saya punya kelemahan, yaitu ada di pintu masuknya. Lalu saya sampaikan kalau gambar yang saya dapatkan itu berasal dari gambar stensilan atau fotokopi. Pada saat itu saya tidak punya uang untuk survei ke Jakarta, seperti yang lainnya. Saya berkarya berdasarkan peta itu. Jakarta seperti apa, kami juga tidak tahu, ya sudah, saya iyakan saja.
Lalu, panitia mengarahkan saya untuk bekerja sama dengan Pak Sidarta, kemudian didesain ulang dan pintu masuknya seperti yang ada sekarang. Presiden Soeharto berpesan agar saya mengerjakan patung Bung Karno-nya, kalau mau bergabung dengan tiga seniman, kalau tidak ya, kamu pemenangnya. Masa Presiden mengajak saya seperti itu, masa saya tidak mau. Akhirnya pemenangnya tiga orang; Pak Sidarta, teman saya Martono di Yogyakarta, dan saya. Akhirnya, Patung Proklamasi yang ada sekarang, hasil kolaborasi dari tiga seniman.
Kalau Patung Garuda Wisnu Kencana?
Kalau itu memang murni ide saya, didukung Pak Joop Ave sebagai pemrakarsa. Suatu saat, saya dipanggil oleh Pak Joop Ave. Beliau mendengar bahwa Gubernur Bali akan membangun patung Garuda di airport. Lantas, saya menyampaikan agar diberikan ke seniman Bali saja.
Kalau saya membuat proyek seperti ini dengan perhitungan seperti ini, mau tidak? Karena pada saat itu saya mengerjakan patung Angkatan Laut di Surabaya. Lantas saya diarahkan untuk membuat konsepnya, dan Pak Joop terus berjuang. Kalau tidak ada beliau, mungkin tidak jadi. Dengan kata lain, jasa beliau itulah yang mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto pada saat itu.
Lantas, kenapa pada saat itu punya ide membuat patung Garuda Wisnu Kencana?
Idenya saya ingin memperlihatkan secara langsung bahwa kebudayaan itu bisa menghasilkan uang. Dengan pemikiran, kalau orang yang datang pasti membayar tiket, termasuk yang menyewa tempat. Nah ini, dihitung secara profesional, secara bisnis. Nantinya kalau sudah selesai 100 persen, harus mampu mendapatkan kunjungan 5.000-6.000 per hari. Bagaimana mungkin?
Saya mengatakan mungkin, dengan syarat airport-nya diperluas, buka hubungan udara dengan negara lain. Setelah 20 tahun, lalu dibuka dan dibangun. Sekarang terbukti, kunjungannya terus meningkat. Sepertinya mudah untuk mendapatkan 5.000 pengunjung per hari, sehingga pinjaman-pinjaman untuk pembangunan itu bisa dikembalikan.
Apa perbedaan karya patung zaman kekinian dengan karya patung zaman Anda?
Kalau zaman sekarang, segala kemungkinan bisa mungkin. Sekarang, ada yang namanya karya instalasi, digital, dan sebagainya serta entah apa lagi nanti. Maka perlu dipahami bahwa gejolak kebudayaan dan kesenian itu bisa macam-macam. Budaya itu bisa dijual, dimanfaatkan untuk pariwisata. Semua pura itu dibangun bukan untuk pariwisata, tetapi untuk sembahyang, untuk ibadah. Itu direlakan oleh orang-orang Bali, supaya kesejahteraan tercapai dan terjadi kebahagiaan.
Sekarang, orang Bali mau sembahyang pada malam hari, supaya tenang, karena kalau siang hari sudah agak sulit, terlalu berisik, ramai, jadi tontonan, dan tidak enak. Jadi, kebudayaan bermanfaat secara ekonomi. Kalau kita lihat kebudayaan Indonesia yang sekarang, sangat besar, dan perlu dikembangkan. Kebudayaan jangan hanya berpikir warisan. Harus ada yang menjaga kebudayaan, mengembangkannya, mencari hal yang baru, tanpa dia harus kehilangan ciri-cirinya atau identitasnya.
Sebagai seniman yang sudah banyak mengenyam asam garam, apa kritik untuk seniman kekinian kita sekarang?
Saat ini, seniman jatuh sekali, karya-karya itu jatuh sekali, akibat siapa? Akibat semuanya. Pertama, para kolektor, galeri, ya senimannya juga, sangat senang dengan beritaberita bombastis mengenai harga. Bukan mengenai kualitas atau konsep seninya, ini kok larinya ke sana.
Bagaimanapun komersialnya seni, ekonomi itu bukan tujuan. Jadi, peristiwa ekonomi itu harusnya tidak berhubungan. Nah, peristiwa ekonomi itu harus sekadar dapat (seni itu laku). Itu harus dimengerti. Jadi bukan tujuan kita membuat karya seni itu menjadi mahal dan dapat uang. Nah, ini tecermin seperti itu. Tujuannya ke sana, bangga-banggain uang.
Sekarang begini, ada karyanya yang harga 10 miliar rupiah, lantas saya bilang, karya apa sih? Apalagi belum terbukti proses berkarya. Yang punya uang 5-10 miliar rupiah itu siapa? Ada berapa orang di Indonesia? Yang punya memang banyak, tapi yang senang terhadap karya seni siapa? Terhadap karya seni siapa dia suka. Hal ini tidak pernah dipikirkan sama seniman.
Mereka bangga, harga karya sekian-sekian, itu menjadi berita yang luar biasa. Jadinya, itulah menjadi simbol kemajuan seni rupa yang semu sebenarnya. Bukan soal laku mahal, tapi bagus tidak. Nah, ternyata, karyanya tidak hebat-hebat banget, biasa-biasa aja, agak ajaib kalau harganya bisa seperti itu.
Kalau begitu, menurut Anda, bagaimana cara orang awam untuk melihat karya yang bagus?
Sebenarnya tidak sulit. Kalau seniman sudah biasa. Kalau karya ini tidak pantas harga segitu, paling pantas harga segini, sudah tahulah. Kalau saya tidak cemburu, tapi itu bukan lawan saya. Kelemahannya dulu seperti itu. Karya digorenggoreng aja, sebab seniman tidak bayar pajak, kalau bayar pajak harus ada buktinya. Coba disuruh bayar pajak, tidak ada karya harganya seperti itu fantastisnya. Tidak mau beliau bicara seperti itu, karena tidak bayar pajak, dia gaya-gayaan.
Jika melihat ketekunan, kerja keras, kreativitas, dan usia, Anda termasuk salah satu seniman yang berhasil di Indonesia. Bagaimana membuat seni patung dipahami masyarakat?
Harus ada pengertian, seni patung modern itu belum dipahami publik secara luas, perlu kampanye. Kalau pameran patung biayanya mahal, ruangannya juga demikian, pokoknya susahlah. Belum lagi membuat rusak lantai orang karena berat. Ada karya patung dengan berat tiga ton, jadi lantainya rusak, bagaimana mengangkutnya, perlu asuransi, dan sebagainya.
Saya berpikir, sampai kapan kita mampu. Kalau sekali atau dua kali okelah. Saya berpikir untuk membuat Taman Patung, sementara masyarakatnya malu-malu masuk galeri. Kalau jalan-jalan di taman lihat kiri-kanan dulu, baru berani masuk galeri. Itu cara kita memperkenalkan seni patung secara ramah. Kalau ke galeri itu, seperti nakut-nakutin.
Tekniknya adalah memperkenalkan seni patung modern itu secara halus. Dulu, selama 16 tahun tidak bayar. Nah, sekarang mulai meningkat kunjungannya, orang mulai tertarik, tanggal 1 Oktober 2016 mulai bayar tiket. Karena yang mengurus galeri dan taman banyak sekali, lebih dari 50 orang untuk operasional, belum lagi kurator. Sebab, ada galerinya yang bisa dipakai oleh seniman siapa saja gratis oleh seniman yang diloloskan oleh kuratornya, juga ada artis residensi. Kita dalam memajukan seni rupa dengan gaya seperti itu.
Sekarang Anda sudah melakukan, membangun Garuda Wisnu Kencana, membangun di Bandung, dan di Indonesia sudah punya nama. Dalam waktu dekat, ada ekspresi apa lagi yang ingin dikerjakan atau dikaryakan?
Banyak. "Liar" itu, sampai tua tetap "liar", itu sudah bawaan, tapi badannya mampu tidak meladeni keliaran itu. Semua ada teknik dan patennya. Saya membuat patung kecil sesuai dengan kemampuan saya, hanya 1,5 meter, punya 3 meter, semua itu bisa diperbesar, dan saya punya patennya. Ide awal itu diperbesar dengan teknologi. Orang lain tidak bisa, kami bisa. Yang membuat patung besar hanya kita. Jadi jangan khawatir, selama idenya ada, meskipun kecil, nanti diperbesar hingga seratus meter juga bisa, asal ada uangnya.
Anda diundang sebagai pembicara dalam World Culture Forum (WCF), seberapa strategis forum ini?
Kita harus punya kesadaran dulu akan pentingnya budaya. Bangsa, negara, dan pemerintah harus punya kesadaran. Orang itu diberi keistimewaan masing-masing oleh Tuhan. Kita tidak tahu, kita lahir, ternyata diberikan bakat A, bakat B. Kalau orang Bali itu tergantung kodrat atau karmanya dulu.
Kalau kita lihat budaya ini bisa menjadi suatu kekuatan, bisa menyejahterakan dan secara otomatis akan mudah mencapai kebahagiaan dari cita-cita manusia. Kita sudah dibekalin agama, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Kalau ada bagian-bagian dari itu, terus menghalang-halangi kita untuk berkreasi, itu sudah tidak benar. Hidup kita jadi sulit.
Anda bisa bayangkan kalau orang di Bali ini tidak boleh mematung, kesulitan orang Bali akan luar biasa. Karena orang Bali tidak sanggup hidup dari sawahnya, dari ladangnya. Kebutuhan hidup sudah melebihi dari fasilitas sawahnya. Kecuali barangkali pakai menanam ganja, bisa imbang, ha... ha....
Pemerintah harus sadar. Sawah di Bali pada khususnya. Kita bicara Bali dulu, karena Bali sekarang ini yang hidup dari kebudayaan, dan berdampak pada pariwisata. Jadi, pariwisata itu dampaknya, bukan tujuannya. Budaya ini juga bukan tujuan pariwisata. Budaya itu hanya untuk merefleksikan dirinya tanpa berpikiran berdagang. Orang di Bali, kadang-kadang setelah membuat karya seni dibakar.
Artinya, bukan tujuan untuk pemikiran ekonomi, tapi memuaskan batinnya. Kalau sekarang ada suatu masyarakat membuat ini dilarang, membuat itu dilarang, terus makan apa? Sama dengan kita mengutuk rahmat Tuhan. Bakat dari Tuhan. Barangkali ini Tuhan membekalin kamu untuk menjalankan hidup, terus kamu tidak mau mengembangkan diri kamu atau menghargai bakat itu, ya dosa. Dosanya, yaitu sengsara.
N-3
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 3 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 4 Jerman Percaya Diri Atasi Bosnia-Herzegovina
- 5 Disbun Kaltim Fasilitasi Alih Fungsi Lahan Tambang Menjadi Perkebunan