Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perusahaan Induk I Kinerja Keuangan PGN Jauh Lebih Baik Dibandingkan Pertagas

Holding BUMN Migas Sarat Anomali

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Penggabungan dua perusahaan gas itu bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada persaingan usaha sehingga konsumen tak ada opsi harga gas yang berbeda.

JAKARTA - Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membentuk perusahaan induk (holding) BUMN sektor minyak dan gas bumi (migas) ditengarai sarat kejanggalan. Bahkan, holding BUMN migas berpotensi menciptakan bom waktu atau permasalahan yang tertunda.

Center for Budget Analysis (CBA) kebijakan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN dengan PT Pertamina Gas (Pertagas) sebagai anak usaha PT Pertamina (Persero) menimbulkan pertanyaan besar. Sebab, kinerja keuangan PGN jauh lebih baik dibandingkan Pertagas.

Menurut catatan CBA, hingga september 2017, total aset PGN mencapai 6,30 miliar dollar AS atau setara 83,89 triliun rupiah dengan kurs 13.300 rupiah per dollar AS. Bahkan setiap tahun, PGN bisa mengukuhkan pendapatan rata-rata sebesar 28,79 triliun rupiah.

Koordinator Investigasi CBA, Jajang Nurjaman, menilai meskipun sama-sama di bisnis transmisi dan distribusi atau niaga gas, namun dari segi pendapatan antara PGN dan Pertagas sangat timpang. Itu terlihat dari pendapatan masing-masing perusahaan pada 2016, PGN meraup 38,15 triliun rupiah, sedangkan Pertagas hanya 8,69 triliun rupiah.

"Bahkan, Pertamina yang akan menjadi induk dari holding BUMN Migas, sampai Desember 2017 memiliki utang sebesar 153,7 triliun rupiah. Kalau dilihat dari neraca keuangan, bisa dinilai PGN cukup stabil dan sehat, sedangkan Pertamina dalam kondisi yang kritis," kata Jajang dikutip dari hasil riset CBA, Selasa (13/3).

Bahkan, dirinya mengendus adanya maksud terselubung di balik aksi korporasi itu. Menurutnya, penggabungan dua perusahaan gas itu bisa menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha. Konsumen dalam hal ini masyarakat tidak ada pilihan harga gas yang berbeda lagi.

Karena itu, CBA memastikan merger PGN dengan Pertagas hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bisa menyengsarakan rakyat sehingga harus ditolak.

Menurut informasi yang diperoleh, Presiden Joko Widodo menyadari ada banyak pro dan kontra holding BUMN Migas sehingga membuatnya ragu.

Langkah Terburu-buru

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas N Zubir, mengatakan kebijakan holding BUMN migas yang dijalankan Pemerintahan Jokowi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan (Perseroan) terlalu terburu-buru hingga mengabaikan berbagai aspek. Inas menyebut 29 persen pemegang saham PGN yang merupakan perusahaan publik masih menolak pembentukan holding tersebut.

Sebelumnya, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menilai pembentukan holding BUMN Migas hanya akan menciptakan bom waktu atau berpotensi menciptakan permasalahan yang tertunda. Agus Pambagio menjelaskan saat ini Undang-Undang BUMN sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah masuk masa persidangan.

ers/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Antara

Komentar

Komentar
()

Top