Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Hindari Musim Banjir Tahunan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Di Kota Rotterdam, Belanda, yang 90 persen di bawah permukaan laut dan lokasi pelabuhan terbesar di Eropa, adalah pusat bagi gedung perkantoran terapung terbesar di dunia. Bukan hanya itu, tempat ini dikenal dengan peternakan sapi terapung yang diperah oleh mesin untuk memasok produk susu ke toko bahan makanan lokal.
Sejak peluncuran Paviliun Terapung 2010, sebuah ruang pertemuan dan acara bertenaga surya di pelabuhan Rotterdam, kota ini telah meningkatkan upaya untuk mengarusutamakan proyek-proyek semacam itu, menyebut bangunan terapung sebagai salah satu pilar Strategi Bukti dan Adaptasi Iklimnya.
"Selama 15 tahun terakhir, kami telah menemukan kembali diri kami sebagai kota delta," kata Arnoud Molenaar, Kepala Petugas Ketahanan di Kota Rotterdam kepada BBC. "Kami melihat air bukan sebagai musuh, namun sebagai peluang," imbuh dia.
Untuk membantu melindungi kota-kota dari perubahan iklim, pada 2006 pemerintah Belanda melakukan program "Room for the River" yang secara strategis memungkinkan daerah-daerah tertentu tergenang selama periode hujan lebat, sebuah perubahan paradigma yang berupaya merangkul, bukan menahan air yang naik.
Pendiri firma arsitektur Waterstudio, Koen Olthuis, mengatakan bahwa kekurangan perumahan di Belanda dapat memicu permintaan untuk rumah terapung. Mengatasi kekurangan perumahan di Belanda akan membutuhkan pembangunan satu juta rumah baru selama 10 tahun ke depan. Rumah terapung dapat membantu meringankan tekanan pada kekurangan lahan yang tersedia untuk pembangunan.
Perusahaan Belanda yang mengkhususkan diri pada bangunan terapung telah dibanjiri permintaan dari pengembang di luar negeri untuk proyek yang lebih ambisius juga. Blue21, sebuah perusahaan teknologi Belanda yang berfokus pada bangunan terapung, saat ini sedang mengerjakan serangkaian pulau terapung yang diusulkan di Laut Baltik.
Pembangunan ini dapat menampung 50.000 orang dan terhubung ke terowongan kereta bawah air senilai 15 miliar euro atau sekitar 242,5 miliar rupiah yang didanai swasta. Proyek ini menghubungkan Helsinki di Finlandia dan Tallin di Estonia. Proyek ini didukung oleh investor Finlandia dan pengusaha "Angry Birds", Peter Vesterbacka.
Sedangkan Waterstudio akan mengawasi pembangunan perumahan terapung di dekat ibu kota dataran rendah Male di Maladewa. Sebesar 80 persen negara itu berada kurang dari 1 meter di atas permukaan laut. Ini terdiri dari perumahan yang dirancang sederhana dan terjangkau untuk 20.000 orang.
Di bawah lambung akan ada terumbu buatan untuk membantu mendukung kehidupan laut. Bangunan akan memompa air laut dingin dari dalam untuk membantu sistem pendingin udara.
"Tidak ada lagi ide tentang pesulap gila yang membangun rumah terapung," kata Olthuis. "Sekarang kami menciptakan kota biru, melihat air sebagai alat," imbuh dia.
Namun, rumah terapung menghadapi banyak tantangan. Angin kencang dan hujan, atau bahkan lewatnya kapal pesiar besar, dapat membuat bangunan berguncang. Siti Boelen, warga Schoonschip, mengatakan cuaca badai membuatnya berpikir dua kali untuk tinggal sebelum menjadi terbiasa. "Anda merasakannya di perut Anda," kata dia.
Rumah terapung juga membutuhkan infrastruktur ekstra dan pekerjaan untuk terhubung ke jaringan listrik dan sistem saluran pembuangan, dengan kabel dan pompa tahan air khusus yang diperlukan untuk terhubung ke layanan kota di tempat yang lebih tinggi. Dalam kasus Schoonschip di Amsterdam dan gedung perkantoran terapung di Rotterdam, jaringan mikro baru harus dibangun dari awal.
Meski mahal, manfaat rumah terapung lebih besar. Rutger de Graaf, salah satu pendiri dan Direktur Blue21, mengatakan, meningkatnya jumlah bencana, badai yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia mendorong perencana kota dan masyarakat untuk mencari solusi.
Pembangunan mengambang, kata dia, bisa menyelamatkan nyawa dan kerugian miliaran dollar, ketika banjir mematikan melanda Jerman dan Belgia, menewaskan sedikitnya 222 orang.
"Jika Anda mempertimbangkan bahwa pada paruh kedua abad ini, ratusan juta orang akan mengungsi karena kenaikan permukaan laut, kita harus mulai sekarang untuk meningkatkan skala pembangunan terapung," kata dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top