Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
WAWANCARA

Hasto Wardoyo

Foto : KORAN JAKARTA/Eko Sugiarto Putro
A   A   A   Pengaturan Font

Dokter ahli kebidanan dan kandungan ini mau menerima tantangan baru sebab persoalan kependudukan dan keluarga berencana ini masalah serius di Tanah Air. Sejak reformasi bergulir, masalah seputar keluarga berencana tampak justru terbengkalai penanganannya.

Untuk mengetahui apa saja yang akan dilakukan jajaran BKKBN ke depan, wartawan Koran Jakarta, Eko Sugiarto Putro, berkesempatan mewawancarai Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, di Sleman, DIY, Sabtu (29/6). Berikut petikan selengkapnya.

Apa problem utama BKKBN yang Anda lihat?

Problem di BKKBN yang saya anggap sebagai tantangan utama adalah bonus demografi. Pekerjaan yang paling besar adalah struktur demografi yang didominasi usia muda. Jika bisa dimanfaatkan akan menjadi bonus demografi, namun kalau gagal mengoptimalkan malah jadi bencana demografi.

Kalau ada ingar bingar hari keluarga nasional (29 Juni) maka sebetulnya unit analisis terkecil dari problem kesejahteraan masyarakat adalah dari keluarga. Nah, titik paling spesifik dari kesejahteraan masyarakat adalah keluarga. Problem masing-masig keluarga itu beda. Jika sistem penanganannya pukul rata dalam scope desa atau kecamatan, ada yang kena dan tidak.

Oleh karena itu, mendiagnosis problem di tingkat keluarga itu penting. Apalagi BKKBN sebagai suatu departement of family planning maka ini akan sangat cocok. Treadment-nya jelas, mau diapain keluarga ini, yang merupakan unit terpenting dalam kesejahteraan masyarakat.

BKKBN punya kekuatan apa untuk sampai menjangkau keluarga?

Pada saat dipimpin Haryono Suyono, BKKBN memiliki Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), ada penyuluh yang direkurt dari sarjana dan menjadi percontohan pertama sarjana masuk desa. Itu keren sekali. Saya benar-benar mengalami itu, tidak hanya tahu dari membaca karena saya dulu dokter puskesmas di pedalaman Indonesia selama lima tahun.

Waktu itu anggaran dan programnya jelas. Nah, sejak era otonomi daerah, penyuluh KB sudah tidak ada rekrutmen lagi karena penyuluh menjadi tanggung jawab daerah. Dulu, BKKBN ada dalam bentuk badan, ada Kanwil di kabupaten, sekarang terserah bupatinya. Itulah salah satu risiko otonomi daerah yang sangat berpengaruh pada BKKBN. Jalur instruksional pusat ke daerah tidak sejelas dulu.

Apakah perubahan landasan BKKBN tak lagi di bawah Presiden, namun di bawah Menkes ini berpengaruh?

Itu berpengaruh pada kebijakan mendasar terkait infrastruktur organisasi. Suprastrukturnya juga berubah. Yang diperlukan adalah merumuskan kembali sebetulnya bidang tugas BKKBN itu yang mana. Problem di masyarakat berkembang. Angka untuk mencapai target satu wanita melahirkan 2,1 ini berat mencapainya. Kita masih 2,6 sehingga pertumbuhan penduduk tidak terkendali.

Apakah perubahan kelembagaan akan jadi konsen pertama Anda?

Saya belum diskusi dengan Presiden Joko Widodo. Setelah dilantik tentu akan diskusi, dan minta saran, tentu seizin Menkes. Sebetulnya fokusnya apa, mau dirumuskan seperti apa. Sebagai orang baru, saya hanya ingin mendapat focus of interest yang jelas.

Family planning membimbing keluarga uuntuk menuju pada keluarga sejahtera. Sekarang Kemensos, Kemendes, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, semua ngurusi kesejahteraan keluarga. Kalau mau mengeroyok di sektor yang sama maka akan terjadi overlap. Overlap bagus kalau koordinasi jelas. Jadi, jelek kalau inkoordinatif, jalan sendiri-sendiri nggak jelas.

Perlu clear and clean. Apa yang menjadi fokus tidak kabur. Overlap-overlap ini harus dipertegas batasnya. Saya bekerja dalam lingkup sekecil apa pun nggak masalah asal tegas apa target kinerja saya. Dengan kanan-kiri saya jelas batasnya. Kalau nggak jelas batasan antar-stakholder, nanti kalau target gagal dicapai bisa saling menyalahkan.

Tadi Anda menyinggung soal target rata-rata angka kelahiran total sebesar 2,1. Apakah ini target yang berat?

Saat ini sepertinya total fertility rate (TFR) kita masih di angka 2,6 tentu saja untuk jadi 2,1 berat karena itu sudah berlangsung sejak sekitar 20 tahun lalu dan sulit untuk menurunkannya. Pada zaman Pak Harto kita menyentuh TFR 2,3.

Artinya bisa mencontoh apa yang dilakukan di era Orde Baru?

Sulit. Ingat, zamannya sudah berubah. Reformasi membuat mindset orang berubah. Dulu kontrasepsi bisa dilombakan lewat KB Kesehatan ABRI. Di TNI bahkan ada pelayanan KB massal. Sekali melayani 100-200 orang. Sekarang ada HAM. Kalau memperlakukan itu bisa melanggar HAM karena dianggap cenderung memaksakan.

Zaman dulu ada bulan bakti KB. Dandim, Polres, Danramil, Kapolsek, berlomba-lomba mengerahkan aseptor sebanyak-banyaknya dan dinilai. Itu juga karena kepiawain Pak Haryono Suyono melobi TNI/ Polri untuk meningkatkan jumlah aseptor KB.

Sekarang paradigmanya berbeda. Orang diberi kemerdekaan untuk berpikir dan bertindak sebebas- bebasnya. Tidak boleh ada topdown lagi. Apalagi soal punya anak. Itu jadi hak asasi setiap warga. Bisa saja mengambil inspirasi dari programnya, namun pendekatan di lapangan harus diubah.

Di Nawacita tertera Kampung KB sebagai salah satu prioroitas, bagaimana dengan hal itu?

Itu gerakan teknis cara menyukseskan program. Kampung KB jadi indikator keberhasilan KB di tingkat wilayah atau desa. Misal indikatornya adalah jumlah aseptor KB sekian. Bisa jadi kampung KB kalau aseptornya cukup. Yang harus kita sadari, ledakan penduduk itu lebih berbahaya dari ledakan bom. Kalau tidak terkendali, bahaya, karena sumber daya alam terbatas, kemampuan untuk mencukupi manusia terbatas.

Kabarnya APBD untuk program BKKBN masih kecil?

Di pusat pun kecil atau anggaran yang tidak sehat karena ternyata 70 persen anggaran masih untuk membayar gaji pegawai. Hanya 30 persen untuk pekerjaan. Artinya ini sudah institusi yang kolaps. Kalau lembaga bisnis, anggaran gaji karyawan 30 persen, 70 persen program, itu bisnisnya sehat. Kalau punya tukang, gaji tukang 70 juta beli semen 30 juta. Tukange garap apa? Itu pertanyaan mendasar. Ada struktur makro yang salah.

Tapi, isunya BKKBN kurang pegawai?

Enggak, kurang kegiatan. Tergantung targetnya seperti apa. Kalau target BKKBN mau sampai kecamatan sampai desa, ya tambah pegawai, tapi catatannya ya ada kegiatan. Kalau sekarang kondisi pegawai sampai ke grass root tidak cukup dan kegiatan pun tidak ada, ya layak di-regrouping kalau memang tidak mau diubah. Ini kan mesin departemen, kalau tidak diperbaiki struktur makronya, bagaimana mau mulai.

Bagaimana dengan standarisasi pelayanan KB Nasional?

Harus ada standar pelayanan minimal. Pasang susuk, suntik, sterilisasi untuk laki-laki, perempuan, bagaimana? Pelayanan boleh massal nggak? Atau harus ada konseling, informed concern dengan suami juga? KB itu hak istri atau juga hak suami. Perlu tanda tangan suami nggak? Itu semua bagian dari SOP. Sebagai pembanding, di Orde Baru, pasang susuk bisa ramairamai di gedung sekolah.

Apakah BKKBN akan bekerja sama dengan organisasi agama?

Harus. NU, MUI, Muhamadiyah. Indonesia masih sangat patrialistis dengan pemimpin agama sehingga penting untuk melibatkan pemimpin agama dalam setiap program.

Bagaimana dengan kualitas penduduk kita?

Kualitas salah satunya diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan keluarga. Itulah tiga pilar IPM. Kematian ibu dan bayi saat ini masih tinggi. Kenapa di negara maju, seperti Jepang, angka harapan hidup bisa 80-86, karena yang mati saat masih bayi kecil sekali.

Angka pendidikan kita masih sekitar 8,17 yang artinya rata-rata orang Indonesia tidak lulus SMP. Wajib belajar sembilan tahun saja belum tercapai karena rata-rata baru kelas 2 SMP. Sedangkan di ekonomi, kemandirian adalah hal terpenting.

Apa yang dimaksud dengan kemandirian?

Indikator mandiri itu penting. Kalau mandiri sudah pasti sejahtera. Cita-cita Proklamasi kita itu membangun ekonomi mandiri. Setelah merdeka maka cita-cita berikutnya adalah membangun ekonomi mandiri, membangun kepribadian Indoensia. Itu Tri Sakti. Tapi sekarang apa-apa impor. Maka penting untuk melatih keluarga Indonesia mandiri secara ekonomi.

BKKBN punya perangkat apa untuk mewujudkan kemandirian ekonomi keluarga?

Perangkat BKKBN adalah indikator keluarga sejahtera 1, sejahtera 2, sejahtera 3. Membimbing keluarga sejahtera. Kalau itu digeser, jangan hanya keluarga sejahtera tapi keluarga mandiri, kan bisa.

Mengubah keluarga sejahtera menjadi mandiri?

Iya, saya lebih mengusulkan keluarga mandiri. Tapi, nanti kita tunggu arahan menteri terkait dan Presiden Jokowi, mau dibawa ke mana ini BKKBN. Kalau mau dibawa ke family planning dan keluarga berencana ya jangan overlap dengan departemen atau kementerian lain. Biar tidak repot. Setelah jelas deskripsi dan target kerja, kita bisa menentukan indikator. Misal arahnya family planning maka ada indikator tentram, mandiri, dan bahagia.

Teknisnya kira-kira akan seperti apa?

Kolaborasinya tidak dengan aseptor saja, tapi juga dengan kementerian agama, kantor pengadilan agama. Berapa angka perceraian kita? Bagaimana konseling perkawinan? Jangan hanya stunting yang diurusi, tapi juga kerja sama dengan KUA setempat, pendeta, romo, karena ini terkait ketenteraman keluarga.

Coba dieskpos angka perceraian. Kabupaten Kulon Progo saja, setiap tahun yang menikah 2.900 orang, tapi angka perceraian 850. Itu fenomena penting yang tidak diurus. Padahal kemiskinan dicetak oleh janda, anak yatim, karena suami pergi. Itu problem basic yang tidak dibongkar.

Family planning itu domain BKKBN, maka perlu redefinisi tugas dan target jangan jatuhnya hanya proyek. Soal nikah ini kompleks, rata- rata tidak memiliki kesiapan untuk membangun organisasi terkecil di masyarakat, tidak siap jadi ayah, jadi ibu. Problem kemiskinan itu salah satu sumber utamanya adalah disharmonitas keluarga.

Soal media sosial dan internet, BKKBN apakah mau menggunakannya untuk kampanye program?

Saya akan bikin aseptor itu keren dengan memberi banyak insentif untuk mereka, yang bisa dilakukan dengan media digital. Secara umum pandangan saya soal digital adalah bagaimana menggunakannya dengan ideologi kebangsaan yang kuat. Bagaimana bisa memprovokasi penduduk menjadi orang hebat yang mengentaskan kemiskinan dengan sense of crisis yang kuat. Digital harus berada di ruang-ruang kerakyatan.

Meninggalkan Kulon Progo untuk ke Jakarta, bagaimana pertimbangan Anda?

Meninggalkan kabupaten bukan hal yang enteng. Saya lahir di Kulon Progo. Kami masih punya program untuk membuat ekosistem bandara. Ada rasa berat. Rasa cemas juga ada. Tumpah darah saya, ya Kulon Progo. Cuma, itu perasaan yang egois. Dalam arti merasa hebat, itu nggak baik. Kulon Progo hebat karena saya, itu nggak baik. Pilihan saya untuk menerima amanah baru adalah treathment untuk tidak punya penyakit racun kemapanan. Jabatan harus dilaksanakan dengan penuh penderitaan. Jabatan itu identik dengan penderitaan, bukan kenikmatan. Saya masuk ke rumah baru yang lebih menderita. BKKBN dalam situasi yang belum ideal, banyak problem.

Anda suka dengan masalah sepertinya?

Bagi saya, menyelesaikan masalah itu menantang. Saya dokter, mengelola rumah sakit ibu dan anak sehingga di BKKBN juga merasa in home. Di BKKBN saya bisa langsung running karena ini dunia saya.

N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top