Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Sejak 2007, Neraca Pangan Indonesia Mengalami Defisit

Harus Ada Target Jelas Pemangkasan Impor

Foto : Sumber: BPS
A   A   A   Pengaturan Font

>> Indonesia mesti punya perencanaan kuat tentang arah pembangunan industri nasional.

>> Penguatan substitusi impor bisa menghemat devisa negara dan menambah lapangan kerja.

JAKARTA - Indonesia seharusnya memiliki panduan jelas mengenai kapan dan bagaimana program memangkas kebergantungan yang tinggi terhadap impor akan dijalankan, terutama impor kelompok bahan baku dan bahan penolong, termasuk pangan.

Sebab, bagi negara sebesar Indonesia dinilai akan sangat berisiko apabila terus bergantung pada impor, baik untuk kebutuhan industri maupun pangan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan insentif yang memadai guna mempercepat pengembangan industri substitusi impor pada kelompok barang tersebut, dan ini mesti dimulai dari sekarang.

Guru Besar Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, menilai jika melihat kenyataan soal ekspor-impor Indonesia maka akan terlihat seperti negara yang berjalan tanpa perencanaan yang layak, misalnya kebutuhan pangan. Bagaimana mungkin Indonesia yang 100 persen kebutuhan gandumnya harus diimpor akan menjadikan gandum sebagai makanan pokok menggantikan nasi.

"Selain itu, sebagai negara agraris, sungguh ironis jika melihat fakta impor beras, jagung, kedelai, gula, dan sebagainya yang nilainya terus meningkat. Padahal, sangat mudah untuk diketahui bagaimana kebutuhan ke depan dan apa langkah antisipasinya," papar dia, ketika dihubungi, Jumat (29/3).

Menurut Dwijono, pemerintah semestinya jeli memanfaatkan masa transaksi perekonomian global yang kini dinilai masih dalam tren perlambatan, dengan mulai membangun dan memperkuat industri substitusi impor, khususnya untuk bahan baku dan bahan penolong, serta bahan pangan.

"Harus dimulai dari sekarang. Pertumbuhan global pasti akan bergerak lagi. Jangan sampai kita terlambat. Sekarang juga disiapkan pembangunan substitusi impor, dan penguatan industri pertanian nasional dengan fokus mandiri pangan," tukas dia.

Dengan demikian, lanjut dia, ketika perekonomian global kembali pulih tahun depan, struktur industri nasional sudah lebih kokoh karena memiliki industri hulu (bahan baku dan penolong) yang lebih kuat sehingga bisa mendukung hilirisasi industri yang bernilai tambah.

Dwijono menambahkan kebijakan memangkas impor itu harus jelas dan komprehensif, seperti soal tenggat waktu dan tahapannya, serta insentif untuk mendorong substitusi impor, misalnya berupa pengurangan pajak atau kemudahan lainnya.

"Jika kita bisa menekan impor pangan, paling tidak bisa menghemat devisa hingga 13 miliar dollar AS setahun. Dana itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sektor pertanian," papar dia.

Sebelumnya dikabarkan, sejak 2007, transaksi perdagangan atau ekspor dan impor pangan Indonesia mengalami defisit. Nilai defisit tertinggi terjadi pada 2011, yaitu sebesar 4,2 miliar dollar AS. Defisit pangan bisa ditekan hingga 0,6 miliar dollar AS pada 2015, namun membengkak kembali dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 (hingga November), defisit meningkat menjadi 2,9 miliar dollar AS.

Harus Bertahap

Sementara itu, ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengatakan Indonesia harus segera melepaskan diri dari kebergantungan pada impor melalui pembangunan industri substitusi impor. "Kita undang lebih banyak investor yang tertarik pada sektor manufaktur untuk substitusi impor bahan baku dan penolong," kata dia.

Menurut Heri, kebijakan memangkas impor tidak bisa dilakukan secara serta merta, tetapi harus bertahap. Selama ini, banyak industri yang bergantung pada bahan baku dan bahan penolong impor. Padahal, kemandirian dalam penyediaan kedua barang tersebut apabila bisa disiapkan dari dalam negeri melalui substitusi impor akan menghasilkan dampak yang luar biasa, seperti hemat devisa, menambah lapangan kerja, dan menopang hilirisasi industri.

"Setahap demi setahap perbaikan struktur industri. Jadi yang tadinya kita impor bahan baku, bisa siapkan di dalam negeri. Hal-hal seperti ini belum terlihat nyata," ungkap Heri.

Padahal, lanjut dia, untuk memperkuat struktur industri nasional, keterkaitan antara industri hulu dan hilir harus makin kuat. n YK/ahm/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top