Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Hardjuno: Kasus Pidana Sukena di Bali Gara-gara Landak, Cerminkan Ketimpangan Penegakan Hukum Lingkungan

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ahli hukum Hardjuno Wiwoho menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum yang dialami oleh I Nyoman Sukena, warga Bali yang diancam hukuman lima tahun penjara karena memelihara landak Jawa, spesies satwa yang dilindungi. Hardjuno menganggap kasus ini menunjukkan lemahnya penerapan keadilan dalam hukum.

"Kasus Sukena ini memperlihatkan kurangnya proporsionalitas dalam penerapan hukum. Yang harus diutamakan adalah prinsip keadilan, bukan hanya sekadar menerapkan undang-undang secara kaku," ujar Hardjuno, kandidat doktor di bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga, dalam rilis yang diterbitkan pada Rabu (11/9).

Ia menambahkan bahwa kasus ini juga menjadi pengingat bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta lembaga konservasi untuk meningkatkan sosialisasi aturan terkait satwa yang dilindungi. "Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang aturan ini. Sosialisasi harus diperkuat agar tidak ada lagi kasus serupa di mana orang awam terjebak karena ketidaktahuan," tegasnya.

Sukena ditangkap pada 4 Maret 2024 oleh Ditreskrimsus Polda Bali karena memelihara empat ekor landak Jawa, spesies yang dilindungi. Ia kemudian disidang di Pengadilan Negeri Denpasar dan dijerat dengan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang memuat ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Sukena sendiri mendapatkan hewan tersebut dari mertuanya dan tidak mengetahui bahwa memeliharanya melanggar hukum.

Dukungan publik terhadap Sukena semakin meluas setelah video dirinya menangis di pengadilan viral di media sosial. Netizen ramai-ramai mengungkapkan simpatinya melalui tagar #KamiBersamaSukena, menyatakan bahwa hukuman yang dihadapi Sukena tidak sebanding dengan tindakannya. Banyak yang membandingkan kasus ini dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat, di mana pelaku serupa sering kali lolos dari jeratan hukum.

Hardjuno menggarisbawahi bahwa seharusnya asas ultimum remedium-di mana hukuman pidana adalah langkah terakhir-lebih diterapkan dalam kasus ini. "Penjara tidak boleh menjadi solusi pertama dalam semua kasus. Jika kita langsung memidanakan setiap pelanggaran kecil, penjara akan penuh sesak. Pidana harus dipakai sebagai jalan terakhir," ungkapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus lingkungan, sanksi administratif lebih diutamakan untuk pencegahan dan pemulihan daripada hukuman pidana. "Pidana tidak bisa memperbaiki lingkungan, tugasnya lebih kepada memberikan efek jera. Pemulihan kerusakan lingkungan harus menjadi prioritas utama," tambah Hardjuno.

Lebih luas, Hardjuno menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, di mana banyak kasus kerusakan alam akibat tambang besar seperti batu bara di Kalimantan Timur belum diproses dengan benar. Aktivitas tambang yang telah menghancurkan ekosistem dan mencemari air sering kali luput dari penegakan hukum yang tegas, meskipun dampaknya sangat merusak.

Hardjuno menekankan pentingnya penerapan hukum yang adil dan bijak, mempertimbangkan dampak setiap keputusan hukum terhadap lingkungan dan masyarakat. "Penegakan hukum tidak boleh tegas hanya terhadap pelanggar kecil, tetapi juga harus keras pada pelanggar besar. Keadilan harus ditegakkan di semua tingkatan, baik itu pada kasus satwa yang dilindungi maupun kerusakan lingkungan besar yang belum terselesaikan," tutupnya.


Redaktur : Eko S
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top