Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pengelolaan Negara | Jika Berpihak Pada Industri Pangan, Investor Bakal Datang Sendiri

Hak Hidup Rakyat Diambil untuk Memperkaya Debitur BLBI

Foto : ISTIMEWA

BADIUL HADI, Seknas Fitra

A   A   A   Pengaturan Font

» Jangankan yang dari luar, yang sudah investasi di dalam negeri saja masih "dipalakin".

» Negara dianggap gagal menyejahterakan rakyatnya karena lemahnya keberpihakan anggaran untuk masyarakat miskin dan rentan.

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang sangat mendasar terlebih dahulu, sebelum melangkah ke hal-hal yang sarat teknologi, apalagi sampai terus mengemis ke investor di luar negeri untuk masuk berinvestasi. Sebab, dengan menyelesaikan masalah di industri pertanian dan industri dasar maka otomatis investor akan datang.

Pengajar Mata Kuliah Antikorupsi Felisianus Andry Rahmat, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Jumat (16/12), mengatakan, bagaimana pemerintah mau bicara teknologi kalau industri dasar dan industri pertanian saja sudah setengah mati.

"Semua seperti sibuk urusan jadi calo, dari atas sampai bawah terus mengemis ke investor dari luar negeri. Sebenarnya tidak usah, kalau kita pro industri pangan nasional, investor akan datang sendiri. Kalau industri pertanian dan industri dasar dianakemaskan, investor akan datang dengan sendirinya," kata Felisianus.

Sebaliknya, kalau mereka terus "dipalaki", mereka tidak akan mau. Jangankan yang dari luar, yang sudah investasi di dalam negeri saja masih "dipalakin", bagaimana berharap investor luar negeri mau datang.

Upaya untuk mempermudah perizinan, jelasnya, tidak akan berguna kalau para pengusaha masih kena biaya siluman yang menyebabkan biaya tinggi.

Kondisi tersebut berbeda dengan perlakuan kepada pedagang yang nyaris tidak ada gangguan dan cuma modal dengkul, karena "konco" penguasa.

"Kalau begini trus, bagaimana kita bersaing secara global. Sumber daya alam (SDA) dan bonus demografi akan habis dan hilang," katanya.

Sekitar 20-30 tahun ke depan, anak muda sekarang ini sudah pensiun. Hal itu juga yang dikhawatirkan Tiongkok soal angka kelahiran. Kalau sumber daya alam (SDA) sudah habis, generasi muda menua, daya beli tetap lemah.

"Otomatis jumlah kemiskinan bertambah. Kalau masih muda saja sudah miskin, apalagi kalau generasinya sudah tua, pasti miskin. Anaknya juga ikut miskin. Generasi barunya ikut miskin, yang kaya cuma segelintir dari oligarki dan penguasa," katanya.

Kalau terus dibiarkan, kesenjangan makin tinggi dan pada akhirnya konflik sosial dan instabilitas nasional yang tidak ada obatnya. "Kalau sudah seperti itu, nggak usah menunggu ramalan Jayabaya lagi untuk melihat negara ini terpecah," kata Felisianus.

Apa yang ditunjukkan Bupati Meranti, Provinsi Riau belum lama ini yang marah-marah ke pemerintah pusat, meskipun dinilai tidak etis tetapi hal itu terjadi karena mereka merasa tidak ada keadilan.

Rakyat Merana

Sementara itu, Seknas Fitra, Badiul Hadi, mempertanyakan subsidi obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dibayar pemerintah melalui belanja negara sampai dengan 2043. Untuk membayar subsidi itu, utang pemerintah bertambah sampai di atas tujuh ribu triliun rupiah. Sementara kredit dipakai untuk properti yang mencapai seribu triliun rupiah lebih malah memicu bubble.

"Di sisi lain, rakyat merana, hak hidupnya diambil untuk memperkaya perampok negara, Perampok BLBI. Nah itu didiamkan bagaimana. Lalu, kita mengemis utang ke luar negeri. Sampai kapan bisa. Setahan apa republik ini kalau tidak segera sadar," kata Badiul.

Lebih lanjut, Badiul mengatakan mandat UU semua sumber daya termasuk anggaran harus seharusnya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang muaranya adalah kesejahteraan penduduk.

Maka dari itu, penting bagi pemerintah menentukan prioritas penggunaan anggaran, misalnya pengentasan kemiskinan, penanganaan stunting, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan lain lain. "Jangan sampai justru negara dianggap gagal menyejahterakan rakyatnya karena lemahnya keberpihakan anggaran untuk masyarakat miskin dan rentan," tegas Badiul.

Penyaluran subsidi bagi masyarakat miskin misalnya, selama masih ada ketimpangan kesejahteraan di masyarakat, maka negara harus menyelesaikannya, salah satunya melalui skema subsidi bagi masyarakat miskin.

"Jangan justru sebaliknya, uang negara justru untuk membantu orang kaya, seperti kasus BLBI. Akhirnya, negara harus menerima dampaknya sampai sekarang karena membayar utang BLBI. Pemerintah seharusnya belajar dari kasus BLBI, agar tata kelola anggaran memiliki dampak secara langsung bagi masyarakat miskin dan rentan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top