Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Ekonomi 2019 - IMF Prediksi Perlambatan Ekonomi AS dalam Waktu Dekat

Hadapi Gejala Krisis Global, Perkuat Ekonomi Domestik

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

>>Tanpa perbaikan ekspor, defisit transaksi berjalan sulit ditekan menjadi surplus.

>>Dampak berantai pelemahan rupiah terhadap industri berpotensi mengarah pada PHK.

JAKARTA - Indonesia mesti segera memperkuat perekonomian dalam negeri untuk mengantisipasi munculnya gejala awal krisis global. Sejumlah kalangan mengemukakan paling tidak ada lima persoalan yang akan dihadapi Indonesia ke depan, yakni dampak kesepakatan Brexit, potensi kenaikan harga minyak dunia, perang dagang, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS), dan lemahnya kinerja ekspor.

Sementara itu, setelah memperingatkan kemungkinan terjadinya krisis keuangan global, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF) memprediksi perlambatan ekonomi AS dalam waktu dekat. Bahkan, perlambatan itu bisa lebih cepat dari perkiraan, yakni pada 2019 atau 2020.

Ekonom Indef, Abdul Manap Pulungan, mengemukakan peringatan IMF soal ancaman krisis global bukan tanpa alasan yang kuat. Oleh karena itu, pemerintah harus mengantisipasinya dengan menjaga perekonomian domestik tetap stabil, karena sulit berharap pada kondisi global. "Pemerintah mesti mengantisipasi setidaknya lima persoalan ekonomi kita ke depan," ujar dia, di Jakarta, Jumat (14/12).

Persolan pertama adalah kesepakatan pemisahan Inggris dari Uni Eropa atau Brexit yang belum menemukan titik terang. "Kalaupun sudah bersepakat, dikhawatirkan bakal hard landing, tidak smooth. Jadi ada kesepakatan-kesepakatan yang akan memberikan gejolak bagi ekonomi dunia. Menurut saya, ini pemicu awal krisis," kata Manap.

Persoalan kedua, prediksi kenaikan harga minyak menyusul pemangkasan produksi kelompok negara eksportir minyak atau OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari. Masalah ketiga, perang dagang AS-Tiongkok yang juga tak kunjung reda. Sengketa dagang itu juga berdampak ke negara lain termasuk Indonesia. "Pada saat kesepakatan itu tidak menemui titik baru. Artinya, akan terjadi perang tarif antara Tiongkok dan AS," kata dia.

Manap menambahkan, persoalan berikutnya adalah kenaikan bunga Bank Sentral AS, Fed Fund Rate (FFR), pada tahun depan. "Angka inflasi AS pada November masih 2,3 persen, sedangkan suku bunganya 2,5 persen. Artinya, suku bunga riil di AS masih positif. Jadi, masih ada ruang the Fed untuk menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun depan," kata dia.

Menurut Manap, masalah selanjutnya terkait ekspor dan impor. Kinerja ekspor yang menopang neraca transaksi berjalan tidak tumbuh signifikan, karena didominasi bahan mentah tanpa nilai tambah sehingga sulit bersaing.

"Tanpa perbaikan ekspor, defisit transaksi berjalan sulit ditekan menjadi surplus. Defisit akan bertambah saat terjadi lonjakan harga minyak," jelas dia.

Di samping itu, impor yang tinggi turut memperburuk neraca pembayaran. Apalagi, impor naik signifikan hingga 20 persen, sedangkan ekspor hanya bergerak di level 8 persen.

"Jadi dari situasi itu, kita tidak berharap ada krisis. Tapi dari simpul-simpul yang muncul, memang terjadi. Bukan terjadi krisis ya, tapi kondisi tahun depan tidak akan jauh berbeda dari sekarang. Mudah-mudahan minyak nggak naik signifikan agar kita aman di 2019," papar Manap.

Dia menilai untuk mengatasi lima persoalan itu cukup susah, apalagi mendorong pertumbuhan ekonomi di level 5,3 persen. Kalau defisit transaksi berjalan tidak segera diperbaiki, jangan berharap rupiah akan membaik. Artinya, impor akan mahal.

"Akibatnya, biaya produksi industri mahal. Lalu terjadi efisiensi, larinya ke PHK. Berarti konsumsi turun, pertumbuhan ekonomi juga akan turun, karena kontribusi konsumsi 55 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)," papar Manap.

Mulai Redup

Terkait perlambatan AS, Kepala ekonom IMF, Maurice Obstfeld, menyatakan kondisi tersebut merupakan dampak dari kebijakan fiskal dan anggaran pemerintahan Presiden Donald Trump yang mulai redup. "Perlambatan ekonomi AS akan lebih tajam kemungkinan pada tahun 2020 ketimbang tahun 2019, menurut data yang kami lihat," papar Obstfeld di Washington, AS, Jumat.

IMF telah merevisi ke bawah prediksi pertumbuhan ekonomi AS untuk 2019, yakni dari 2,8 persen menjadi 2,5 persen. "Untuk seluruh dunia, kemungkinan akan ada udara yang keluar dari balon," ujar Obstfeld, merujuk pada pertumbuhan ekonomi Asia dan Eropa yang lebih rendah dari perkiraan pada kuartal III-2018.

Menurut dia, kondisi itu akan berdampak pula pada AS. Obstfeld juga menyoroti perang dagang antara AS dan Tiongkok, termasuk antara AS dengan beberapa mitra dagang lainnya.YK/ahm/AFP/WP

Penulis : Eko S, AFP

Komentar

Komentar
()

Top