Guru Besar Unair: Kebijakan Publik Diharapkan Bersifat "Positive Sum Game"
Guru Besar Bidang Ilmu Kebijakan Publik dan Governansi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Antun Mardiyanta.
SURABAYA - Guru Besar Bidang Ilmu Kebijakan Publik dan Governansi, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Antun Mardiyanta, baru-baru ini mengatakan, agar para analis kebijakan dapat menjadi aktor yang dapat meminimalkan potensi konten dan proses kebijakan publik yang diskriminatif dengan secara lincah mempraktikan berbagai perspektif dan metode dalam analisis mereka.
Itu ia sampaikan setelah mengidentifikasi banyak kebijakan strategis mendapat penentangan yang luas di masyarakat.
"Itu dapat dibaca dari Big Data media sosial," tuturnya di Surabaya, Rabu (20/9).
Menurut Antun, praktik pembuatan kebijakan publik di Indonesia yang acapkali mengabaikan proses yang sehat. Kedua, adanya peningkatan yang besar jumlah Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) yang tidak dibarengi dengan peningkatan kompetensi mereka. Ketiga, adanya tantangan dari penggunaan media sosial yang massif pada era pascakebenaran 'post-truth'.
"Realitas praktik analisis kebijakan publik di Indonesia seringkali hanya mengakomodasi cara pandang positivis yang sudah mapan saja. Padahal, untuk menghadapi tantangan proses pembuatan kebijakan publik yang semakin kompleks, para analis kebijakan perlu lincah memainkan perannya di dalam keragaman perspektif dan metode tersebut".
"Kita tidak baik membiasakan zero sum game (situasi yang dimenangkan oleh salah satu pihak atas kekalahan pihak lain). Memang dengan otot politik, pihak bisa memaksakan itu, tapi kurang sehat".
"Karena kalau proses kebijakan itu lebih sehat, akan ada kesepakatan-kesepakatan ke arah mana kebijakan itu. Akan lebih baik kalau positive sum game (kebijakan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat)," tegasnya.
Menurut dia, semakin banyak perbendaharaan metodologi yang dikuasai oleh seorang analis kebijakan, justru akan menolong para analis kebijakan tersebut untuk memposisikan dirinya dalam berhadapan dengan masalah yang juga beragam.
Antun menyampaikan agar para analis kebijakan dapat menjadi aktor yang dapat meminimalkan potensi konten dan proses kebijakan publik yang diskriminatif dengan secara lincah mempraktikan berbagai perspektif dan metode dalam analisis mereka.
Untuk itu, Antun mengusulkan agar diperlukan ekosistem kerja yang baru antara pembuat kebijakan dan analis kebijakan, yaitu kolaborasi, komunikasi yang terbuka, rasa saling menghormati, serta kesatuan visi untuk memutuskan kebijakan yang tepat guna serta mendapat legitimasi yang kokoh dari publik.
"Selain itu, ruang-ruang perkuliahan dan pelatihan para analis kebijakan perlu membuka diri pada keragaman perspektif dan metode untuk menumbuhkembangkan kepekaan mereka dalam meramu masalah-masalah kebijakan yang ada dalam rangka memberi pertimbangan bagi pengambil keputusan. Sehingga, analis kebijakan yang lincah dalam menghadapi masalah-masalah publik dapat dihasilkan," tutupnya.
Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Komentar
()Muat lainnya