Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Greenpeace: Daur Ulang Plastik Tetap Menjadi "Mitos" dan "Konsep yang Gagal"

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON DC - Greenpeace Amerika Serikat (AS) pada Senin (24/10) melaporkan bahwa tingkat daur ulang plastik menurun bahkan ketika produksi plastik meningkat. Dalam laporannya, Greenpeace mengecam klaim industri untuk menciptakan ekonomi sirkular yang efisien dan menyebut klaim itu sebagai "fiksi."

Dalam laporan berjudul Circular Claims Fall Flat Again, studi Greenpeace tersebut menemukan bahwa dari 51 juta ton sampah plastik yang dihasilkan oleh rumah tangga AS pada tahun 2021, hanya 2,4 juta ton yang didaur ulang, atau sekitar lima persen.

Setelah mencapai puncaknya sebesar 10 persen pada 2014, tren daur ulang menurun, terutama sejak Tiongkok berhenti menerima sampah plastik Barat pada 2018.

Produksi awal plastik yang tidak bisa didaur ulang sementara itu meningkat pesat seiring dengan berkembangnya industri petrokimia yang menurunkan biaya.

"Kelompok industri dan perusahaan besar telah mendorong daur ulang sebagai solusi," kata juru kampanye Greenpeace AS, Lisa Ramsden, kepada AFP. "Dengan melakukan itu, mereka telah melalaikan semua tanggung jawab untuk memastikan bahwa daur ulang benar-benar berfungsi," imbuh dia seraya menyebut Coca-Cola, PepsiCo, Unilever, dan Nestle sebagai pelaku utama.

Menurut survei Greenpeace AS, hanya dua jenis plastik yang diterima secara luas di 375 fasilitas pemulihan material di negara itu. Yang pertama adalah polyethylene terephthalate (PET), yang biasa digunakan dalam botol air dan soda; dan yang kedua adalah polietilen densitas tinggi (HDPE) yang digunakan untuk botol susu, sampo, dan wadah produk pembersih.

PET dan HDPE diberi nomor "1" dan "2" menurut sistem standar di mana ada tujuh jenis plastik.

Tetapi secara teori dapat didaur ulang tidak berarti produk bisa didaur ulang dalam praktiknya.

Laporan tersebut menemukan bahwa produk PET dan HDPE memiliki tingkat pemrosesan ulang aktual masing-masing sebesar 20,9 persen dan 10,3 persen-keduanya sedikit turun dari survei terakhir Greenpeace AS pada 2020.

Sementara Jenis plastik "3" hingga "7" termasuk mainan anak-anak, kantong plastik, pembungkus produk, wadah yogurt dan margarin, cangkir kopi, dan wadah makanan siap saji, diproses ulang dengan laju kurang dari lima persen.

Meskipun sering membawa simbol daur ulang pada labelnya, produk yang menggunakan plastik jenis "3" hingga "7" gagal memenuhi klasifikasi dapat didaur ulang oleh Komisi Perdagangan Federal.

Ini karena fasilitas daur ulang untuk jenis ini tidak tersedia untuk mayoritas substansial dari populasi, yang didefinisikan sebagai 60 persen, dan karena produk yang dikumpulkan tidak digunakan dalam pembuatan atau perakitan barang baru.

Menurut laporan tersebut, ada lima alasan utama mengapa daur ulang plastik adalah konsep yang gagal.

Pertama, sampah plastik dihasilkan dalam jumlah besar dan sangat sulit untuk dikumpulkan, seperti menjadi jelas dalam laporan yang disebut sebagai aksi pembersihan sukarela yang tidak efektif yang didanai oleh organisasi nirlaba seperti "Keep America Beautiful".

Kedua, bahkan jika semuanya dikumpulkan, sampah plastik campuran tidak dapat didaur ulang bersama, dan secara fungsional tidak mungkin untuk memilah triliunan keping sampah plastik konsumen yang dihasilkan setiap tahun, kata laporan itu.

Ketiga, proses daur ulang itu sendiri berbahaya bagi lingkungan, membuat pekerja terpapar bahan kimia beracun dan menghasilkan mikroplastik.

Keempat, plastik daur ulang membawa risiko toksisitas melalui kontaminasi dengan jenis plastik lain di tempat sampah, mencegahnya menjadi bahan food grade lagi.

Kelima dan terakhir, proses daur ulang sangat mahal.

"Plastik baru secara langsung bersaing dengan plastik daur ulang, dan jauh lebih murah untuk diproduksi dan berkualitas lebih tinggi," kata laporan itu.

Ramsden meminta perusahaan untuk mendukung Perjanjian Plastik Global, yang disetujui oleh anggota PBB untuk dibuat pada Februari lalu, dan bergerak ke arah strategi isi ulang dan penggunaan kembali.

"Ini sebenarnya bukan konsep baru, seperti dulu tukang susu dulu, begitu dulu Coca-Cola menyajikan minumannya kepada orang-orang. Mereka akan meminum minuman mereka, mengembalikan botol kacanya, dan botol itu akan disanitasi dan digunakan kembali," dia berkata.

Beberapa negara memimpin, termasuk India, yang baru-baru ini melarang 19 barang plastik sekali pakai. Austria telah menetapkan target penggunaan kembali 25 persen pada 2025 dan setidaknya 30 persen pada 2030 untuk kemasan minuman, sementara Portugal juga telah menetapkan tujuan 30 persen pada 2030.

Sedangkan Cile bergerak untuk menghapus peralatan makan sekali pakai dan mewajibkan botol isi ulang. AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top