Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Gempar! Bertubi-tubi Sanksi yang Dilancarkan Barat untuk Rusia, Kini Moskow Bikin Senjata Baru Demi Hadapi Tekanan Benua Biru

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Rusia sedang menyiapkan "senjata baru" untuk melawan negara-negara barat, namun senjata yang dimaksud bukanlah untuk membunuh melainkan strategi bagaimana barat harus membeli gas dengan rubel.

Langkah tersebut merupakan ketentuan dalam membeli gas Rusia dalam mata uang rubel, bukan Euro ataupun dolar AS. Strategi tersebut menjadi manuver terbaru dari Moskow dalam menghukum negara-negara yang menjatuhkan sanksi ekonomi terhadapnya terkait invasi Ukraina.

Namun jika pembeli, khususnya Eropa, tidak bisa menyanggupi ketentuan yang diterapkan maka bisa saja Moskow mengambil langkah memutus pasokan. Langkah ini bisa berbahaya bagi Benua Biru dalam ketergantungannya kepada gas Rusia, terutama listrik.

Pada catatan Reuters, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov dan Ketua Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, menyebutkan Moskow telah sipa dengan kebijakan dengan pemberlakuan pembelian tersebut. Sistem barunya pun sudah hampir selesai.

"Tidak ada yang akan memasok gas secara gratis, itu tidak mungkin. Dan, Anda (pembeli) hanya dapat membayarnya dalam rubel," ujar Peskov kepada wartawan, Selasa (29/3).

"Semua modalitas sedang dikembangkan sehingga sistem ini sederhana, dapat dimengerti dan layak untuk pembeli Eropa dan internasional yang dihormati," lanjutnya.

Perlu diketahui, rencana menggunakan pembayaran Rubel sudah dikatakan Presiden Vladimir Putin sejak pekan lalu. Hal tersebut diumumkan tepat saat Uni Eropa (UE) memperdebatkan sanksi tambahan terhadap Rusia.

Langkah ini merupakan strategi yang paling signifikan dalam politik minyak dan gas (migas) Rusia sejak Uni Soviet membangun jaringan pipa gas ke Eropa dari Siberia pada awal 1970-an.

Vladimir Putin memang diketahui sejak kepemimpinannya dari 1999 sering menghalau dominasi dolar AS dalam banyak transaksi global, sebagai instrumen "kerajaan kebohongan" AS yang bertujuan menghancurkan Rusia.

Namun, sejumlah konsumen gas Rusia menolak aturan ini. Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner mengharapkan Putin untuk memikirkan konsekuensinya karena jika pembayaran dilakukan dengan rubel, harga gas Eropa bisa makin melonjak.

"Kami sepenuhnya menentang segala bentuk pemerasan. Perjanjian ini didasarkan pada euro dan dolar (AS), jadi kami menyarankan agar perusahaan sektor swasta membayar (Rusia) dalam euro atau dolar," ujar Lindner yang dikutip dari CNBC International.

"Jika Putin tidak mau menerima ini, terbuka baginya untuk memikirkan konsekuensinya," lanjutnya.

Akan tetapi ternyata analis menilai pembayaran rubel bisa menyalahi kontrak. Mekanisme pembayaran ekspor gas juga belum jelas.

"Pembayaran rubel berada di suatu tempat antara sangat sulit dan tidak mungkin. Apalagi untuk sebagian besar pembeli Eropa untuk mengaturnya dan tidak bisa dalam waktu singkat," ujar Rekan Peneliti Distinguished Institut Oxford untuk Studi Energi, Jonathan Stern.

"Jika Gazprom (BUMN gas Rusia) bersikeras pada pembayaran rubel dan menghentikan pengiriman jika pembayaran tidak dilakukan dalam mata uang itu, maka menurut saya ini akan menjadi pelanggaran ketentuan kontrak," lanjutnya.

Langkah pembayaran dalam rubel mestinya akan menopang mata uang Rusia, yang telah anjlok sejak serangan dilakukan ke Ukraina pada 24 Februari. Pidato Putin soal rubel ini sempat mengangkat mata uang itu 9% terhadap dolar kala itu.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Zulfikar Ali Husen

Komentar

Komentar
()

Top