Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Gelembung Harga Reklamasi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pemerintah akhirnya mencabut moratorium izin reklamasi teluk Jakarta, khususnya Pulau C dan D. Terminologinya bukan pencabutan moratorium reklamasi, melainkan pencabutan sanksi administrasi Pulau C dan D. Dua pulau itu digarap pengembang PT Kapuk Naga Indah (KNI), anak perusahaan Agung Sedayu Group.

Ada sejumlah syarat yang harus dikerjakan pengembang sebelum meneruskan pengerjaan Pulau C dan D. di antaranya, menghentikan seluruh kegiatan reklamasi sampai terpenuhinya perintah memperbaiki dokumen dan izin lingkungan Pulau C. Kemudian, membatalkan rencana reklamasi Pulau E, memperbaiki pengelolaan pasir uruk agar tak melimpas ke perairan. Lalu, memberi data rinci mengenai sumber pasir uruk dan bebatuan yang digunakan. Ini termasuk perizinan pemasok pasir, melaporkan data rinci sumber dan jumlah material pasir uruk. Pengembang juga harus menyampaikan hasil pengamatan dan pencatatan lapangan dalam laporan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Dia jgua harus membuat outlet channel atau kanal di antara Pulau C dan D.

Selain itu, pengembang mesti mengeruk pendangkalan di sekitar Pulau C dan D. Menggunakan turap beton tetrapod untuk membuat turap penahan gelombang di sisi utara dan sebagian timur. Melaksanakan kewajiban lain yang tercantum dalam izin lingkungan. Di antaranya kajian dampak reklamasi bagi nelayan. Terakhir, pengembang mesti mengupayakan pengelolaan lingkungan hidup untuk menghindari dampak lingkungan selama penghentian kegiatan reklamasi.

Dengan keputusan pemerintah itu kita hanya bisa menunggu konsekuensi dari pengembang reklamasi. Jika tidak, pemerintah punya skenario lain terhadap pengembang yang mengabaikan persyaratan. Namun, terlepas dari pengembang akan menuruti persyaratan atau tidak, publik telah mengingatkan bahwa proyek reklamasi kurang berguna untuk mengatasi banjir. Sebab, bendungan raksasa di mulut-mulut sungai akan memperlambat aliran air dan mempercepat pendangkalan. Akhirnya memperparah banjir makin ke hulu.

Lebih dari itu, harga proyek reklamasi bakal meningkat. Sebab, selain sempat tertunda beberapa saat sehingga menimbulkan beban, pengembang tentu akan membebankan biaya segala persyaratan dan kerugian proyek kepada konsumen.

Maka tak aneh jika harga tanah di pulau-pulau buatan itu bisa mencapai 50 juta rupiah per meter persegi. Ini karena mahalnya biaya pembangunan proyek. Akibatnya, investor swasta yang terlibat hampir mustahil menyediakan lahan murah untuk orang-orang miskin yang tergusur. Artinya, pengembang akan membangun pasar real estate untuk kelas atas.

Hanya, daya beli sedang turun lantaran inflasi melandai. Kondisi seperti ini berpotensi bubble property (gelembung harga properti). Fenomena gelembung bisa digambarkan sebagai telah dilampauinya titik jenuh (setelah mengalami leveraging). Ke depannya rawan terjadi koreksi harga secara tajam (deleveraging).

Sangat mungkin dalam waktu 5 tahun dari sekarang karena dipicu peningkatan harga kawasan reklamasi, pasar properti Indonesia akan stagnan. Daya beli masyarakat semakin tertinggal jauh. Jika gelembung harga reklamasi terjadi, bukan saja Jakarta bakal terbebani terbengkalainya proyek-proyek pulau buatan, tapi juga memicu masalah lebih besar lagi, banjir kredit macet.

Jadi, tak bisa dibayangkan jika kemudian proyek reklamasi gagal di tengah jalan. Padahal, sudah diingatkan tanda-tanda kegagalan. Namun, karena proyek sudah berjalan, pemerintah yang harus menanggung. Swastalah yang mengeruk untung, tapi inilah konsekuensi kebijakan yang dibuat untuk kepentingan sesaat. Seharusnya ada skenario baru tentang proyek reklamasi yang lebih diterima akal sehat.

Komentar

Komentar
()

Top