Gebrakan Berani Menteri Lingkungan Hidup
Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (kiri) bersama Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq.
Foto: Koran Jakarta/KPNasOleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Ada beberapa gebrakan yang berkaitan dengan otoritas, kewenangan, tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Kementerian Lingkungan Hidup, khususnya di sektor pengelolaan sampah.
Pertama, gebrakan akan mengevaluasi pengelolaan sampah secara nasional, termasuk pengelolaan TPA sampah dan TPA regional; Kedua, mengakhiri impor sampah pada 2025; Ketiga, sampah makanan harus ditangani di dalam kota tidak boleh keluar dibuang ke TPST/TPA; Keempat, KLH akan merombak penilaian total penilain Adipura, Komponen sampah yang sebelumnya nilainya 30 persen akan diubah menjadi 70 atau 75 persen.
Gebrakan berani dan strategis di atas disampaikan Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Dr. Hanif Faisol Nurofiq S.Hut, M.P pada berbagai media massa. Hanif ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari Kabinet Merah Putih. Setelah dilantik, ia kemudian ikut retreat di Lembah Tidar Magelang, Jawa Tengah. Sepulangnya dari sana, ia langsung kunjungan ke TPST Bantargebang pada hari Minggu, 20 Oktober 2024. Penuh semangat, tidak tampak lelah.
Menteri LH tersebut suka mendengar, tetapi tidak begitu suka dengan bahasa dan gaya hiperbola, berlebihan. Ia lebih suka pada fakta obyektif yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Coba kita resapi yang disampaikan Menteri LH yang ditulis detik.com (1/11).
"Ini semua harus kita tata dengan demikian. Kita harus berani melihat diri, mengaca dengan serius. Tidak boleh ditutup-tutupi, karena alam tidak pernah berbohong. Alam akan mengkalibrasi apa yang kita omongkan ini. Jadi kita ngomong besar tapi kenyataannya seperti ini, ini yang alam tidak bisa kita bohongi. Kita harus membangunnya dengan step by step, kalau kita bersama-sama mudah-mudahan bisa terurai sedikit-sedikit," pungkasnya.
Dalam kunjungan ke TPST Bantargebang Menteri LH/BPLH didampingi oleh Ditjen PSLB3 Rosa Vivien Ratnawati, Ditjen PPKL Sigit Reliantoro, Ditjen Penegakkan Hukum Rasion Ridho Sani, Ditjen PPI Laksmi Dhewanthi, dan Kepala BSILHK Ary Sudijanto, Sekretaris PSLB3, Direktur Pengurangan Sampah, Direktur Penanganan Sampah dan sejumlah pejabat KLH.
Mereka disambut Sekda Provinsi DKI Jakarta, Kepala Dinas DKI LH Jakarta, Kepala UPST Bantargebang dan jajarannya. Dalam forum yang digelar di kantor UPST dihadiri perwakilan ASOBSI, Perbanusam ADUPI, APSI, IPRO, APPI, IPI, Asosiasi Magot Indonesia, Wastepreneur.id, sejumlah corporate, dan belasan jurnalis. Belum lagi lebih 100 pemulung dari APPI dan IPI di halaman RDF UPST Bantargebang.
Menteri LH/BPLH mendengarkan sambutan Sekda dan Kadis LH Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya Menteri memberi sambutan sekaligus tanggapan. Apa betul, Menteri LH mau mengecek apa yang tekah disampaikan Kadis LH DKI Jakarata. Jumlah sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang masih banyak, 7.500-7.800 ton per hari. Jika musim banjir bisa mencapai 12.000 ton/hari. Sebenarnya berapa ton timbulan sampah DKI Jakarta per hari yang diproduksi 11,44 juta warganya?
Menteri menyoroti komposisi sampah, sekitar 49-50 persen merupakan sampah sisa makanan. Sampah makanan seharus diselesaikan di Jakarta, tidak harus dibuang ke TPST Bantargebang. Mereka, pedagang cari makan di Jakarta dapat penghasilan besar harus peduli sampahnya. Segala food waste tidak boleh keluar Jakarta. Merupakan gebrakan luar biasa.
Pernyataan Menteri LH sebagaimana dikutip radarbekasi.id (25/10), ia akan mewajibkan pengusaha seperti rumah makan, hotel, cafe dan mall untuk mengelola food waste yang dihasilkan oleh mereka sendiri dan tidak membebankan pembuangan sampah ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) atau TPA.
“Kami akan mewajibkan seluruh penyebab atau penimbul sampah organik terutama dari usaha-usaha besar di luar rumah tangga itu wajib menyelesaikan sampahnya sendiri, tidak boleh dibebankan ke Bantargebang,” tujar Menteri LH.
Ia mengatakan, salah satu solusi untuk menyelesaikan food waste adalah pengolahan dengan Black Solider Fly (BSF) dan juga pengkomposan yang selanjutnya dapat menjadi produk pakan ternak, budidaya unggas, dan aquaculture yang memiliki nilai ekonomi.
Kedua, Menteri LH tidak mau Indonesia dijadikan kolonialisme sampah. “Kita akhiri impor sampah”, tegasnya. Selama bertahun-tahun Indonesia menjadi tujuan impor sampah dari berbagai negara industri maju.
Seperti dikutip Antara (22/10), Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq akan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika masih ada pihak melanggar ketentuan penghentian impor sampah plastik, yang rencananya diberlakukan pada 2025.
"Importir-importir yang masih nakal, kami akan turun, kami akan tegakkan aturan terkait dengan konteks ini. Kami akan kenakan pasal-pasal yang memang dibebankan kepada pelanggar seperti ini," kata Hanif.
"Pemerintah ke depan menargetkan pencapaian target pembangunan berkelanjutan, percepatan pencapaian target net zero emission, menurunkan jejak karbon dan jejak air untuk berbagai produk dan memanfaatkan teknologi bioplastik dalam kehidupan sehari-hari," katanya dikutip dari Republika.id (22/10).
Tantangan Berat di Depan Mata
Gebrakan berani Menteri LH tampaknya tidak mudah dan menghadapi tantangan sangat berat. Ia harus berdiri tegak dan hanya demi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, harapan hidup yang lebih panjang dan peluang menghargai hak asasi manusia (HAM). Dalam memperbaiki pengelolaan sampah nasional, tantangan terberatnya adalah pengelolaan sampah di tingkat kabupaten/kota masih sangat bergantung pada TPST/TPA.
Selanjutnya, TPST/TPA di Indonesia mayoritas dikelola dengan sistem open dumping. Sejumlah kabupaten/kota mengalami situasi amburadul sampahnya karena TPA-nya dalam kondisi darurat. Gunung sampah bertambah banyak dan terjadi longsor etika musim hujan. Alasannya, anggarannya kecil dan sangat kecil. Mestinya TPST/TPA sudah dikelola secara sanitary landfill atau control landfill, apalagi untuk kota metropolitan yang berenduduk 2 juta lebih wajib menerapan sanitary landfill.
Pengelolan sampah buruk berimplikasi pada pengelolaan sampah di sungai, pesisir dan laut. Banyak sampah yang bocor melalui berbagai sungai menuju ke laut Jawa dan Bali. Misalnya, sampah bocor melalui Kali CBL (Cikarang Bekasi Laut) menuju pesisir Muaragembong dan laut Jawa, sampah masuk ke Kali Cisadane menuju laut Jawa, sampah di 13 sungai di Jakarta menuju laut Jawa, dan seterusnya.
Penyebabkan pengelolaan sampah buruk di kabupaten/kota bukan hanya sebab anggaran kecil, melainkan terjadi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta gratifikasi. Banyak praktik yang menjauhkan dari prinsip-prinsip environmental good governance. Hal ini bisa dilihat dari praktik pengadaan barang dan jasa, seperti pengadaan mesin pengolahansampah berkualitas buruk, kanibalisme spare part alat berat dan peralatan kendaraan lain, nilep BBM, markup pembangunan fisik, dll.
“Mengurusi sampah kotor dengan hati, pikiran dan tindakan kotor sangat berbahaya!” Jika praktek-praktek buruk ini tidak diberantas maka pengelolaan sampah buruk akan terus berlangsung lama dan menjadi tragedi lingkungan dan kemanusiaan!
Tantangan sangat berat yang dihadapi berkaitan dengan impor sampah adalah negara-negara industri maju dan pengusaha-pengusaha besar dalam negeri. Bahkan, para pengusaha pengimpor sampah tersebut punya akses dan dukungan sejumlah politisi dari Partai Politik besar dan penguasa. Mereka punya uang banyak, teknologi, jaringan dengan kekuasaan di luar dan dalam negeri.
Contoh, Malaysia sudah beberapa tahun lalu ingin menyetop impor dari Uni Eropa, tetapi tidak berhasil. Negara itu malah menjadi tempat pembuangan sampah global. Menurut Data Eurostat jumlah sampah yang diimpor tahun 2023 meningkat 35% disbanding 2022. Tahun 2023 UE mengekspor 8,5 juta ton kertas, plastik dan kaca dengan tujuan Malaysia. Pengimpor sampah terbesar di Asia Tenggara, ada Malaysia, Vietnam dan Indonesia.
Mengutip Detik.news (31/10), negara-negara Asean mengimpor sampah logam, kertas dan plastic lebih 400 ton setiap tahunnya. Nilainya sekitar €47 miliar setara Rp796,5 triliun antara 2017 sampai 2021.
Sudah cukup lama RRT/Tiongkok, salah satu negara di Asia Selatan menjadi tujuan impor sampah dari negara industri maju Eropa, Amerika, Jepang, dll. Pada awal Januari 2018 Tiongkok mengeluarkan kebijakan menutup keran impor sampah yang disebut “National Sword Policy”. Akibatnya terjadi chaos industri daur ulang secara global. Selanjutnya impor sampah itu membanjiri negara Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Paradigma bahwa sampah sebagai komoditas sudah berjalan sejak lama. Sampah bisa jadi komoditas politik, bisa jadi komoditas ekonomi bisnis. Sehingga terjadi ekspor-impor sampah, bukan hanya komoditas pangan, kayu, sawit, besi, dll. Belakangan sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis menjadi pembicaraan seru di dunia internasional.
Pada dekade 2000-an arus impor sampah alias pembuangan sampah negara maju terus meningkat tajam berbarengan dengan tumbuhnya pabrik-pabrik daur ulang di Pulau Sumatera, Jawa, dll. Daur ulang sampah impor tumbuh semakin pesat di Jawa, mulai dari Banten, Bogor, Bekasi, Karawang, Indramayu, Cirebon hingga Mojokerto Jawa Timur.
Impor komoditas sampah tak terbendung, karena kuatnya networking bisnis sampah antara negara industri maju dengan negara berkembang. Mekanisme impor sampah di Indonesia diatur dalam Permendag No. 31/2016 guna mencukupi bahan baku berupa potongan plastik (recycle non B3) industri daur ulang domestik.
Jika diperhatikan, bahwa selama ini paradigma yang digunakan adalah sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis. Sampah punya nilai ekonomis tinggi dan bisa diperjual-belikan. Sampah adalah bahan baku daur ulang. Sementara negara-negara maju tampaknya hanya berpikir yang penting bisa membuang sampah. Berarti ada aspek keuntungan finansial yang bisa dipetik.
Jika sampah sebagai bahan baku daur ulang semestinya negara maju tidak membuang ke negara berkembang. Apalagi negara-negara Eropa, seperti Jerman, Austria, Inggris, Belanda, dll sudah berhasil menerapkan kebijakan the modern circular economy. Contoh Jerman telah mengeluarkan Circular Economy Act (KrWG) pada Juni 2012. Prinsip-prinsip intinya meliputi the polluter-pays principle, the five-tier waste hierarchy, dan the principle of shared public.
Dus, berarti negara maju pun tidak mampu menangani sampahnya hingga tuntas. Daur ulang tidak mampu menyelesaikan sampah. Sehingga harus diekspor atau exit ke negara berkembang sebagai tempat pembuangan sampah. Bisa juga dikatakan, negara berkembang sebagai TPA sampah negara maju.
Sementara negara berkembang - para impotir - tidak berpikir panjang dan bijaksana serta hanya semata-mata demi keuntungan sesaat. Mereka tidak bertanggungjawab atas resiko pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat, menurunnya kekuatan sosial, ekonomi dan politik lokal. Menghancurkan pelaku circular economy aras bawah: pemulung, pengepul dan pencacah plastik.
Tiongkok dengan “National Sword Policy” bisa mengubah cerita dunia. Itu kebijakan jitu mengakhiri impor sampah, peta daur ulang berubah secara global. Bisakah Indonesia membuat kebijakan yang dikenal dunia dan elegan, sebagai negara yang bisa mengakhiri impor sampah? Desain besarnya keluar dari jeratan kolonialisme sampah negara-negara industri maju.
Berita Trending
- 1 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 2 Kampanye Akbar Pramono-Rano Bakal Diramaikan Para Mantan Gubernur DKI
- 3 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
- 4 Desk Pilkada Banyak Terima Aduan dari Yogyakarta dan NTT
- 5 Sekjen PBB Desak G20 Selamatkan Perundingan Iklim yang Macet
Berita Terkini
- Kondisi Keuangan Bermasalah, KoinP2P Masuk Radar Pengawasan OJK
- Wamendagri Tegaskan Infrastruktur Digital Harus Inklusif dan Berdampak pada Kesejahteraan
- Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- Ini yang Dilakukan PT PAL untuk Cegah Munculnya Teroris di Lingkungan Kerja
- Mantan KSAU: Zhuhai Airshow Menjadi Bukti Keunggulan Industri Dirgantara Tiongkok