Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Haluan Negara | Presiden Jadi Pusat Kekuasaan dalam Sistem Presiden yang Kita Anut

GBHN Harus Dikaji Mendalam

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tengan melakukan upaya untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Upaya semakin menguat ketika gagasan tersebut dimasukkan ke dalam agenda amandemen terbatas UUD 1945 yang direncanakan akan direalisasikan oleh MPR RI periode mendatang.

Sejumlah pakar hukum menilai, wacana realisasi GBHN harus dilakukan kajian lebih dalam lagi, terutama terhadap mekanisme kontrolnya. Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan GBHN akan menimbulkan masalah konstitusi jika mekanisme kontrolnya dikembalikan lagi ke MPR RI. Sebab, Indonesia menganut sistem presidensil di mana presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.

"Kita kan punya komitmen presidensiil, pusat kekuasaan di presiden. Kalau sentralnya parlemen ya parlementer," ujar Feri dalam sebuah diskusi media di bilangan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (14/8).

Feri menjelaskan, jika GBHN disahkan, namun tidak ada mekanisme kontrol yang jelas, maka akan sia-sia belaka dilakukannya amandemen terbatas UUD 1945. Sebab, pertanggungjawaban jika presiden tidak melaksanakan GBHN tidak jelas. Alih-alih GBHN, Feri menyebut lebih baik amandemen UUD 1945 memantapkan Pancasila sebagai ideologi negara.

"Di dalam UUD 1945 hanya mengatur bahwa NKRI tidak boleh diubah-ubah. Harusnya sekalian saja Pancasila tidak boleh diubah-ubah. Ini lebih bagus ditengah kekhawatiran kita terkait paham radikalisme yang tengah berkembang," ucapnya.

Kemudian, dikhawatirkan Feri, jika GBHN tidak dilakukan kajian yang mendalam, maka momen amandemen terbatas UUD 1945 akan dimanfaatkan segelintir elit demi kepentingan politik. Ia berasumsi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa di atur oleh elit-elit partai politik sehingga wacana GBHN pun dikemukakan pasca Pemilu 2019.

"Saya khawatir Presiden Jokowi ini tidak bisa diatur sama ketua-ketua parpol, sehingga dibuatlah GBHN, lalu bisa saja nanti MPR RI bisa memakzulkan presiden di tengah jalan jika tida sesuai dengan GBHN," cemasnya.

Sependapat dengan Feri, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, juga berasumsi bahwa sosok Presiden Jokowi yang keras dan tidak mau diatur menjadi penyebab diusulkannya amandemen terbatas UUD 1945. Hal itu bisa terlihat ketika di ruang publik para ketua partai politik meminta jatah menteri.

"Ini juga bisa jadi cerminan, bayangan kita, Jokowi kelihatan susahnya diatur sampai ada ketua partai yang harus sampaikan minta menteri di ruang terbuka. Kalau Jokowi bisa diatur tidak mungkin permintaan itu muncul di publik," kata dia.

Amendemen ke-V

DI samping itu, Veri mengatakam bahwa seharusnya elit MPR RI membuka dokumen amandemen ke V UUD 1945 yang disimpan rapat-rapat oleh Amien Rais sejak 2002 lalu. Ia menuturkan, setelah amandemen ke IV pada 2002, ada rencana amandemen ke V dan sampai sekarang ditutup rapat dan tidak pernah dijelaskan kepada publik."Seharusnya MPR RI menyentuh dokumen itu dan dibahas kembali rencana amandemen ke V tersebut," tukasnya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Agil Oktoryal, mengatakan bahwa dinamika melahirkan kembali GBHN melalui amandemen UUD 1945 yang saat ini terhadi bersifat elitis. Sebab, pembicaraan tersebut hanya melibatkan kepentingan elit politik yang agendanya dikhawatirkan memperebutkan kekuasaan.

"Dalam praktik pemerintahan, yang dibutuhkan adalah keseimbangan agar capaian pembangunan dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif," imbuhnya. tri/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top