Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pendidikan Nasional - Jam Bermain Anak Jangan Dirampas

"Full Day School" Tak Wajib Diterapkan

Foto : ANTARA/Puspa Perwitasari
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengatakan, ia akan segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Karakter. Perpres ini, kata Jokowi, akan menggantikan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan soal kebijakan sekolah lima hari.


"Jadi Permendikbud ini diganti dengan Perpres. Tapi untuk detilnya tanyakan ke Mensesneg," kata Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/8).


Jokowi menyebutkan, dalam Perpres itu, tidak ada keharusan bagi sekolah untuk menerapkan sekolah lima hari sepekan atau delapan jam sehari. "Perlu saya tegaskan, tidak ada keharusan untuk lima hari sekolah. Jadi tidak ada keharusan (mengikuti) full day school," ujar Jokowi.


Menurut Jokowi, pemerintah menyadari ada ketidakmerataan sekolah terkait kebijakan ini. Ada sekolah yang sudah siap melakukan kebijakan tersebut, tak sedikit pula yang belum siap menerapkannya. "Ada pula yang bisa menerima dan ada juga yang belum (siap menerima)," ujar Jokowi.


Bagi sekolah yang sudah siap, bisa menjalankan kebijakan lima hari sekolah. Sementara, bagi yang belum siap, diperbolehkan untuk tak menerapkannya. "Jika ada sekolah yang sudah melakukan sekolah lima hari dan didukung masyarakat, ulama, orangtua dan murid, ya silakan diteruskan, silakan dilanjutkan," ujar dia.


Mengenai kapan Perpres tersebut akan dikeluarkan, Jokowi melempar penjelasan rincinya untuk ditanyakan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno.


Potensi Kerugian


Kegiatan belajar mengajar lima hari yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memang mendapat penolakan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Setelah mencermati secara seksama poin-poin kebijakan ini, PBNU melihat ada lebih banyak potensi kerugian (mafsadat) dibanding kebaikan (maslahat)-nya.


"Kami mencatat sedikitnya ada sembilan potensi kerugian yang bisa dipastikan terjadi jika penerapan proses belajar mengajar lima hari ini terus dipaksakan," ujar Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini.


Di antaranya, Pertama, beban belajar siswa makin berat. Hasil jajak pendapat dengan sejumlah pakar psikologi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu menyimpulkan, bahwa anak usia SD setelah jam 13.00 WIB daya serap ilmunya cenderung menurun.

Ini artinya jika kegiatan belajar mengajar ditambah sampai jam 16.00 WIB maka keterserapan pendidikan pada anak usia dini tidak akan maksimal.


Kedua, terkait aspek mental spiritual. Fakta dunia pendidikan dasar kita selain SD dan MI juga terdapat pendidikan pesantren dan Madrasah Diniyah (Madin) yang berfungsi memberikan penguatan pelajaran dibidang agama, terutama terkait praktik muamalah dan ubudiyyah sehari-hari.

Keberadaan lembaga pendidikan pesantren dan Madin ini telah banyak memberikan kontribusi pada pembentukan kepribadian dan watak mental spiritual anak.


"Di banyak tempat Madin biasanya dilaksanakan sore hari. Jika sekolah diberlakukan sampai sore hari maka praktis mereka tak bisa mengikutinya. Sebagai gambaran, di Jawa Tengah saja saat ini terdapat 10.127 Madin dan TPQ, dimana 90 persen siswanya adalah anak usia SD dan SMP.," tegas Helmy.


Ketiga, terkait aspek akademik. Aturan belajar mengajar lima hari tentu harus diikuti oleh pembenahan kurikulum sekolah. Sementara mengubah kurikulum lama yang sudah secara sistematik diterapkan di sekolah tentu tidak semudah membalikkan tangan.

Sebab skema kurikulum juga berkait erat dengan tingkat kemampuan rata-rata siswa dalam menyerap materi pelajaran di sekolah.


Terkait hak atas dunia sosial anak, penambahan jam belajar mengajar selain mengambil jam belajar di luar sekolah, pada saat yang sama juga merampas jam bermain anak. Kesempatan mereka untuk membangun dunia sosial dengan sesama umurnya dengan demikian akan hilang. fdl/Ant/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Muhamad Umar Fadloli, Antara

Komentar

Komentar
()

Top