Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Napi Eks Koruptor I Bawaslu Punya Pandangan Hukum Sendiri yang Akomodir Semua Caleg

Friksi KPU-Bawaslu Rusak Pemilu

Foto : ANTARA/Sigid Kurniawan

Bahas Napi Koruptor I Dari kiri: Peneliti Senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, Dosen Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, pangajar STIH Jentera Bivitri Susanti dan Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz menjadi narasumber dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Minggu (9/9). Diskusi tersebut mengambil tema Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di Mahkamah Agung.

A   A   A   Pengaturan Font

Polemik soal bacaleg eks koruptor yang memantik perseteruan KPU dan Bawaslu merugikan penyelengara Pemilu itu sendiri

Jakarta - Gonjang-ganjing perseteruan dua penyelenggara pemilu yani Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait pelarangan eks napi korupsi nyaleg seakan tiada henti. Setidaknya sudah ada 34 gugatan pencalonan mantan napi korupsi yang dikabulkan oleh Bawaslu daerah.

Banyaknya gugatan yang dikabulkan ini membuat polemik pencalonan terus bergulir. KPU bahkan telah dilaporkan ke DKPP oleh sejumlah mantan napi yang berniat berkontestasi pada pileg 2019. Di sisi lain, dalam forum tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP, disepakati bahwa pelaksanaan putusan bawaslu akan menunggu putusan MA.

Ketiga lembaga penyelenggara pemilu ini juga satu suara meminta partai untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi meski yang bersangkutan memenangkan gugatan di Bawaslu. Menyikapi hal tersebut, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay meminta hal itu menghentikan karena akan merusak citra dunia kepemiluan kita, apalagi sekarang ini sedang berlangsung tahapan-tahapan Pemilu 2019.

Pasalnya kedua lembaga tersebut, KPU dan Bawaslu dalam pembentukannya didesain oleh UU Pemilu sebagai satu unit fungsi penyelenggaraan pemilu, yang artinya samasama mendukung penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tetapi, pada kenyataannya, Bawaslu justru memiliki pandangan hukum sendiri yang seakan-akan mendukung koruptor nyaleg, dan berdebat seakan merasa paling benar sendiri.

Seharusnya tambah Hadar, KPU dan Bawaslu menyadari bahwa mereka adalah lembaga publik yang diberi kepercayaan besar untuk menangani pemilu. Dengan adanya perselisihan ini dikhawatirkan akan merusak sistem pemilu. "Lembaga ini didesain sebagai satu unit kesatuan, sehingga kalau kerjanya hanya berdebat, maka kepercayaan publik akan menurun terhadap kepemiluan kita," ujar Hadar dalam diskusi bertajuk, 'Polemik Pencalonan Napi Korupsi: Antara Komitmen Partai dan Penuntasan di MA', di Kantor ICW, Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Minggu (9/9).

Mantan Komisioner KPU periode 2012-2017 itu pun meminta DKPP berperan lebih aktif untuk melakukan fungsi pencegahannya melerai kedua penyelenggara pemilu tersebut bila ada polemik. Hadar pun mendorong Mahakamh Agung (MA) untuk melakukan langkah progresif dengan membuat terobosan hukum, karena PKPU pencalonan inilah momentum baik untuk menata bangsa.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni berpendapat, kekhususan pada PKPU ini karena rentang waktu yang disediakan oleh Pasal 76 ayat (3) UU Pemilu untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan KPU 30 hari pasca diundangkan tidak lah banyak.

Terobosan Hukum

Hal senada dikatakan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura yang menilai, Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan 'Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi (MK) sampai ada putusan MK yang dijadikan dasar MA tidak memeriksa JR PKPU Pencalonan itu tidaklah tepat. rag/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top