Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perlindungan Konsumen l OJK Siapkan Strategi Preventif dan Represif Cegah Praktik “Fintech” Ilegal

"Fintech" Ilegal Kian Menjamur

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Praktik pembiayaan melalui layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) ilegal masih menjamur kendati otoritas menghentikan entitas yang melakukan aktivitas tersebut. Karena itu, desakan untuk penutupan dan pencegahan aktivitas fintech ilegal terus menguat. Keberadaan dan praktik perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal yang merugikan konsumen perlu diberantas dan terus disosialisasikan kepada masyarakat.

Hal itu dimaksudkan untuk mendorong tingkat inklusi keuangan Indonesia sesuai target tahun ini, yaitu 75 persen. "OJK (Otoritas Jasa Keuangan) berperan dalam penanganan praktik fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal melalui Satgas Waspada Investasi," kata Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK, Sondang Martha Samosir, pada diskusi Literasi Keuangan Fintech di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Sondang mengatakan berdasarkan data OJK terdapat fintech P2P lending yang tak terdaftar atau berizin usaha telah ditangani oleh satgas waspada investasi. Sebanyak 404 entitas pada 2018 dan 826 entitas pada 2019. "Selama 2019, total entitas investasi ilegal yang telah dihentikan 177 entitas," ujar Sondang. Demi mencegah praktik fintech P2P ilegal, menurut Sondang, OJK menempuh dua cara, yaitu preventif dan represif.

Upaya preventif adalah edukasi menggunakan media luar ruang digital, media sosial dan sosialisasi. Sedangkan cara represif adalah menindak tegas pelaku investasi investasi legal dan fintech ilegal untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sondang mengatakan pemantauan entitas fintech itu untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.

Apalagi keberadaan fintech sangat menyokong tingkat inklusi keuangan Indonesia. Namun, hal itu dinilai tidak akan berpadu dengan kenaikan tingkat literasi keuangan masyarakat. Dia menyatakan dalam menyediakan layanan jasa keuangan, fintech menggunakan teknologi digital. Karena itu, masyarakat semakin mudah memperoleh layanan jasa keuangan di mana pun dan kapan pun.

OJK belum memiliki data pasti terkait besaran peranan fintech terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya, survei nasional literasi keuangan OJK yang dilakukan setiap tiga tahun sekali sejak 2016.

Literasi Rendah

Berdasarkan data hasil survei pada 2016, tingkat inklusi keuangan Indonesia terbilang kecil, yakni hanya 67,8 persen dengan tingkat literasi keuangan hanya 29,7 persen. Artinya, kata dia, meski lebih dari separuh penduduk Indonesia telah tersentuh layanan jasa keuangan, namun 29,7 persennya tidak memahami layanan jasa keuangan.

Kendati saat ini banyak masyarakat merasakan layanan jasa keuangan dengan adanya keberadaan fintech, menurut Sondang, masih banyak persoalan yang justru menyebabkan mereka mengalami kerugian dan tidak sejahtera, terutama akibat keberadaan fintech ilegal.

Sementara itu, Komisioner pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Bambang Sumantri, menilai OJK dan pemerintah perlu memperketat pergerakan perusahaan fintech ilegal. Produk dan layanan fintech mengenai risiko dan keamanan data serta beberapa hal lainnya banyak yang tidak dipenuhi oleh fintech ilegal.

mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top