Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Film "After" Mengundang Kontroversi

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Baru dirilis 16 April lalu di berbagai bioskop di Indonesia, film After sudah mengundang kontroversi. Berbagai sorotan muncul, terutama karena adanya adegan yang dianggap terlalu vulgar.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'thi mengatakan film After menggambarkan kehidupan remaja dan pergaulan bergaya masyarakat sekuler. "Banyak dialog dan adegan yang tidak sesuai dengan budaya dan masyarakat Indonesia yang relijius," katanya di Jakarta, Kamis (19/4).

Menurut Mu'thi, film ini bisa mempengaruhi pola pikir dan pergaulan remaja yang cenderung bebas dan mengabaikan nilai-nilai dan norma luhur budaya bangsa Indonesia. "Kalau pun mau tayang, film After harus dilakukan editing dan sensor yang ketat," kata dia.

Aktor yang juga pengacara, Gusti Randa tidak menampik bahwa After memang kontroversial. Terutama, dari sisi penggambaran yang tidak sesuai dengan budaya timur. Tetapi, justru di situlah sisi menariknya. Karena film ini menggambarkan budaya barat yang lebih terbuka, maka justru memancing penonton untuk ingin tahu.

Di sisi lain, Gusti memperkirakan bahwa masyarakat juga akan tertarik menyaksikan After karena dalam dunia film terdapat siklus, dimana masyarakat akan mengalami kejenuhan dengan genre film tertentu.

"Berarti ini akan masuk ke dalam musim film seks. Musim film dengan tema seperti itu akan lahir jika masyarakat sudah jenuh dengan film-film horor, komedi, dan drama," ujar dia.

Respons berbeda ditunjukkan kalangan milenial, seperti Komunitas Anak Nonton. Mereka sangat menantikan film yang diangkat dari novel Wattpad karya Anna Todd ini. "Sangat enerjik sebagai film drama romantika remaja," kata Febri Sihombing dari Komunitas Anak Nonton.

Febri tidak menampik bahwa beberapa adegan antara Tessa Young (diperankan Josephine Langford) dan Hardin Scott (dimainkan Hero Fiennes Tiffin), bisa menjadi perbincangan. "Adegan dewasanya mungkin yang belum terlalu clear di film, apakah pas untuk konsumsi remaja Indonesia atau tidak. Tapi untuk pengganti The Twilight Saga, film ini sepertinya lebih berbobot dari segi cerita dan sinematografi," lanjut dia.

Melalui film ini orang tua justru bisa mengantisipasi anak remajanya yang memasuki usia pubertas. "Apalagi di sisi lain, beberapa adegan justru bisa menjadi kekuatan romantisme anak muda," kata Febri.

Dalam konteks itulah Febri meminta beberapa adegan dalam film ini tidak dipersoalkan, termasuk ketika Tessa dan Hardin Scott berkencan di sekitar danau. Jangan hanya karena atas nama budaya, adegan yang sebenarnya bisa menjadi unsur kekuatan dan penghibur film justru dihapuskan.

"Tidak melulu film didasarkan pada budaya. Konteks hiburan dari seni juga jangan dihilangkan dari sebuah film. Karena merujuk pada film remaja romantis lokal, hal ini juga sudah tidak lagi tabu," jelasnya. yok/S-1

Komentar

Komentar
()

Top