Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Fenomena Loud Luxury Versus Quiet Luxury, Apa Bedanya?

Foto : Getty Images

Bottega Veneta.

A   A   A   Pengaturan Font

Kata "mewah" atau "luxury" seringkali digunakan secara berlebihan dalam masyarakat modern untuk menggambarkan segala sesuatu yang dihubungkan dengan produk-produk atau merek-merek yang mahal dan bergengsi. Dalam industri fesyen, dunia yang diperintah oleh hierarki merek, kategorisasi kemewahan tetap relatif konsisten.

Namun, estetika telah bergeser selama beberapa dekade. Konsep mewah sekarang berkembang menjadi dua kategori utama, yakni quiet luxury dan loud luxury.

Secara definisi, loud luxury mengacu pada produk atau fashion item yang dengan jelas menunjukkan logo mereka yang unik di setiap produknya. Misalnya, rumah mode mewah paling elit di dunia seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Balenciaga, yang memamerkan koleksi mereka di pekan mode di seluruh dunia, dan berinvestasi dalam kampanye pemasaran besar.

Getty Images

Melansir The Medium, loud luxury bergantung pada status sosial yang dikaitkan dengan merek sebagai faktor penting untuk mendorong keinginan dan konsumsi.

Menurut studi yang dipublikasi di the Journal of Business Research, pecinta loud luxury umumnya membeli produk kelas atas untuk menunjukkan nilai kekayaan mereka. Karenanya, mereka lebih suka memakai produk loud luxury yang mampu menunjukkan kalau barang yang mereka pakai memang mahal dan mendapatkan pengakuan orang lain atas status sosial mereka.

Getty Images

Kaum ini bahkan kerap diasosiasikan sebagai orang kaya baru (OKB) yang membutuhkan pakaian mewah berlogo untuk menciptakan identitas dan berupaya menjadi bagian dari kelas sosial tertentu. Meski terkadang melakukannya secara tidak sadar.

Sebaliknya, quiet luxury menawarkan produk dengan logo yang kecil atau bahkan tanpa logo sama sekali. Jika loud luxury berfokus pada kemewahan yang mencolok, quiet luxury justru enggan menunjukkan status dan kemewahan dengan cara yang frontal.

Alih-alih menunjukkan kemewahan dengan memampang logo besar-besar, merek yang termasuk kategori quiet luxury berupaya menampilkan kemewahan melalui kualitas dan kenyamanan. Misalnya seperti Bottega Veneta, Lemaire, juga The Row yang menjual kemeja putih polos dengan harga US$1000.

Editorialist

Brand-brand ini tidak memamerkan koleksi mereka di pekan mode di seluruh dunia, juga tidak berinvestasi dalam kampanye pemasaran besar. Hanya mereka yang memiliki mata terlatih, atau yang termasuk dalam lingkaran kaya raya, yang akan mengenali produk-produk yang termasuk dalam kategori quiet luxury.

Terlepas dari itu, kedua kategori ini sebenarnya juga merupakan bagian dari marketing banyak luxury brand. Tak sedikit yang sadar akan dua hal ini dan sengaja membuat loud luxury untuk massa yang lebih luas, juga memproduksi produk quiet luxury dengan harga jual lebih mahal untuk target market yang lebih eksklusif.

Pasalnya, kaum pecinta quiet luxury umumnya bersedia membayar harga yang lebih mahal untuk mengenakan pakaian buatan tangan yang indah, yang menampilkan keunggulan bahan.

Editorialist

Salah satu tokoh yang terkenal mencintai quiet luxury adalah Mark Zuckerberg. Pendiri Facebook itu merupakan salah satu pecinta quiet luxury. Siapa yang tak tahu tren berpakaian Zuckerberg yang kerap dikritik karena hanya mengenakan kaos dan celana denim kasual.

Dalam urusan fashion, miliarder itu kerap dikritik karena mengenakan pakaian yang tidak mencerminkan kekayaannya. tetapi yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa banyak kaosnya dibuat khusus oleh Brunello Cuccinelli dan dijual seharga sekitar US$400 atau sekitar Rp6 juta rupiah hanya untuk sebuah kaos polos.

Meski begitu, bukan berarti pengguna produk loud luxury membutuhkan pembuktian secara sosial dan pengguna quiet luxury adalah orang kaya sesungguhnya. semuanya tentu kembali ke preferensi gaya setiap orang yang berbeda-beda.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top