Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Dampak Covid-19 I Sejumlah Negara Mulai Hentikan Ekspor untuk Kepentingan Rakyatnya

FAO Nyatakan Krisis Pangan Global Sudah di Depan Mata

Foto : SANJAY KANOJIA/AFP

MENANTI MAKANAN GRATIS I Para tunawisma menunggu di sepanjang jalan untuk menerima makanan gratis selama lockdown yang diberlakukan pemerintah sebagai langkah pencegahan Covid-19, di Allahabad, India, Senin (13/4). Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan krisis pandemi yang berlarut-larut dapat membuat krisis pangan dunia.

A   A   A   Pengaturan Font

>> FAO memperkirakan krisis pangan akan terjadi antara April hingga Juni 2020.

>> Ancaman krisis rantai pasokan pangan diperkirakan akan muncul di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika.

JAKARTA - Krisis pangan dunia akibat situasi pandemi virus korona baru atau Covid-19 bakal terjadi. Sejumlah negara produsen pangan sudah mulai melarang ekspor guna kepentingan dalam negeri. Sementara itu, negara-negara yang selama ini bergantung impor pangan, seperti Indonesia yang impor pangannya mencapai 13 miliar dollar AS per tahun, mulai khawatir dengan berkurangnya pasokan untuk konsumsi rakyatnya.

Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam sebuah laporan yang dirilis akhir bulan lalu, menyatakan krisis pandemi yang berlarut-larut dapat dengan cepat membuat rantai pasokan makanan menjadi kacau, jaringan interaksi kompleks yang melibatkan petani, input pertanian, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer, dan banyak lagi.

"Kondisi ini merupakan langkah drastis dunia dalam menanggapi pandemi," tulis FAO seperti dikutip sejumlah media, Selasa (14/4).

Selain itu, penutupan perbatasan, pembatasan pergerakan, dan gangguan dalam industri pelayaran dan penerbangan telah menghambat produksi pangan dan pengiriman produk internasional. Keadaan itu telah menempatkan negara-negara dengan sedikit sumber makanan alternatif, dalam risiko tinggi menghadapi kelaparan.

"Maskapai telah menghentikan ribuan penerbangan dan pelabuhan telah menutup terminal peti kemas yang memuat makanan, obat-obatan, dan produk lainnya," demikian kesimpulan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pengembangan, 25 Maret lalu.

"Ketidakstabilan yang meningkat dalam pasokan pangan global akan mempengaruhi warga paling miskin," kata Komite Keamanan Pangan Dunia (CFS) PBB dalam sebuah makalah bulan lalu.

Bahkan perusahaan dan organisasi swasta telah menyerukan tindakan segera untuk mengatasi bencana makanan yang makin di depan mata. "Pemerintah, bisnis, masyarakat sipil, dan lembaga internasional perlu mengambil tindakan segera dan terkoordinasi untuk mencegah pandemi Covid-19 berubah menjadi krisis pangan dan kemanusiaan global," kata sebuah surat terbuka kepada para pemimpin dunia dari para ilmuwan, politisi, dan perusahaan global.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi ekonomi global tahun ini akan berkontraksi dan tumbuh minus 3 persen akibat tertekan pandemi virus korona. Proyeksi ini disebut kemerosotan ekonomi terburuk sejak "The Great Depression" (Depresi Besar) yang melanda dunia tahun 1929 dan krisis finansial global 2008-2009 yang saat itu ekonomi tumbuh minus 0,1 persen. IMF menyatakan ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menjadi yang paling terpukul oleh wabah ini.

Sebelumnya, Presiden Indonesia, Joko Widodo, meminta jajaran pemerintah pusat dan daerah selalu siaga untuk menjaga ketersediaan bahan-bahan pokok di tengah pandemi Covid-19. "Menteri Dalam Negeri bisa mengingatkan gubernur, bupati, dan wali kota untuk menjaga ketersediaan bahan-bahan pokok, membuat perkiraan ke depan sehingga kita bisa memastikan tidak terjadi kelangkaan bahan pokok dan harga yang masih terjangkau," kata Presiden di Jakarta, Senin.

Sudah Terlambat

Dihubungi terpisah, Guru Besar Teknik Irigasi Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif, mengatakan kekhawatiran pemerintah pada krisis pangan sudah terlambat. Sebab, selama ini pemerintah selalu menggantungkan masalah pangan dari impor.

"Sekarang impor tidak bisa karena negara eksportir lockdown," ujarnya.

Indonesia juga akan mengarah kepada lockdown apabila pemutusan mata rantai Covid-19 tidak dilakukan intensif dan disiplin, bahkan diperkirakan bisa sampai Juni. Implikasinya, semakin lama lockdown, Indonesia akan krisis pangan.

Menurut Sigit, Indonesia rajin impor karena beralasan murah dan bisa untung. Padahal, yang mendapat untung pemburu rente. "Bagi rent seeking lebih untung meski rakyatnya mati," katanya.

Sigit mengungkapkan, sekarang ini, sejumlah komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri diimpor, seperti impor jagung, gula, beras, dan tepung singkong. Malah, Indonesia sekarang ini importir gandum nomor dua dunia. "Pertanyaannya, karena sudah biasa impor, kenapa khawatir dengan krisis pangan? Kenapa tidak impor saja? Kalau dijawab, sekarang tidak bisa, kenapa tidak dipikirkan dari dulu," ujarnya.

Sigit mengatakan dari dulu akademisi dan peneliti pangan di Indonesia sudah mengingatkan pemerintah untuk sungguh-sungguh membangun kedaulatan pangan. Sebab di saat terjadi sesuatu di dunia, pasti masing-masing negara mementingkan rakyatnya. Sekarang negara pengekspor, seperti India, Vietnam, dan Thailand yang jadi andalan impor beras Indonesia sudah menyatakan tak akan mengekspor.

"Kita sudah ingatkan terus, tapi terus saja kebijakan bias politisi rent seeking. Suruh dia mencari pangan? Pasti tidak bisa karena tidak ada yang menjual lagi di pasar dunia?" papar Sigit.

Sigit mendesak pemerintah turun ke lapangan, bertemu petani, lalu mengembangkan komoditas yang ada di perdesaan. "Kemampuan masyarakat perdesaan bertahan di tengah gempuran krisis adalah kunci ketahanan nasional. Rakyat desa terus bertahan sekalipun produk impor menyerang. Makanya, kalau tidak membangun ekonomi perdesaaan, Indonesia tidak akan bangkit," katanya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus membangun perdesaan agar tercipta masyarakat yang produktif untuk kepentingan nasional.

"Ekonomi desa harus dibangun sehingga kita bisa makan sendiri, bukan dari pusat. Sebab, mau ekonomi dunia bergoyang keras, Indonesia tidak akan berpengaruh kalau ekonomi perdesaan kuat," paparnya.

Sigit mengatakan melalui pembangunan perdesaan akan terkoneksi sistem industri nasional yang menggunakan lokal konten tinggi yang menciptakan produk substitusi impor. "Industri nasional dengan lokal konten tinggi itu yang perlu didukung supaya substitusi impor bisa ditingkatkan," katanya. AFP/SB/YK/AR-2

Penulis : AFP, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top