Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kepemimpinan Partai I Jabatan Ketua Umum Partai Juga Perlu Dievaluasi

Evaluasi Kaderisasi di Parpol

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Undang-undang partai politik belum memberi ruang terhadap peningkatan kualitas partai melalui sistem kaderisasi yang terukur. UU tersebut hanya mengatur soal status keanggotaan dan implikasinya dalam proses penempatan jabatan politik. Padahal, UU Parpol harus dimaksudkan memperkuat fungsi kepartaian secara efektif.

"Saya kira regulasi yang ada belum mengatur pola-pola kaderisasi. Saya kira sistem kaderisasi Parpol belum sampai pada level perjenjangan berdasarkan kualifikasi," ungkap pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ade Reza Hariyadi kepada Koran Jakarta, Jumat (28/2).

Menurut Ade, proses kaderisasi yang jelas dapat melahirkan kader-kader Parpol yang matang. Namun, saat ini proses kaderisasi tidak berjalan semestinya dan melahirkan kader yang sering berperilaku sebagai kutu loncat. "Hal ini ditunjukkan dengan banyak kader Parpol yang dengan cepat melejit karir politiknya karena kedekatannya dengan elit Parpol."

Dalam UU Parpol, sambung Ade, perlu menyebutkan kewajiban partai untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik secara berjenjang. Selain itu, perlu diatur pola penempatan jabatan publik dengan regulasi yang jelas. Oleh karena itu, dapat menghindari perilaku kutu loncat.

Kemudian, Ade menuturkan fungsi pendidikan politik pada partai pun belum berjalan efektif. Pasalnya, pendidikan politik hanya ramai di saat-saat tertentu, contohnya Pemilu. Namun dalam proses pembuatan kebijakan, Parpol cenderung tidak terbuka menjalani komunikasi politik dengan publik.

"Seharusnya partai bisa menjalankan proses komunikasi politik dengan konstituennya dalam rangka memberikan pendidikan politik. Dengan demikian, rakyat dapat lebih mengerti kebijakan politik yang sedang diperjuangkan partai," ucapnya. Ade berharap, dalam upaya peningkatan bantuan dana negara pada partai bisa mengarahkan revitalisasi fungsifungsinya. "Bukan kegiatan internal partai yang tidak terkait dengan penguatan kapasitas konstituennya."

Selain itu, UU Parpol tidak menjelaskan secara eksplisit tentang afirmasi 30 persen untuk kader perempuan terhadap kepengurusan harian partai. Ade menilai ketentuan afirmasi politik dalam UU Parpol tersebut kurang mewakili kedudukan perempuan dalam partai.

"Kalau kita lihat secara objektif kepengurusan partai ini kan bertingkat, yaitu ada hirarki kewenangan. Misalnya, ada kepengurusan harian, departemen, organisasi sayap, dan lain-lain. Kalau UU secara eksplisit tidak menyampaikan afirmasi 30% untuk kader perempuan di kepengurusan harian partai, maka perempuan hanya dijadikan pelengkap dalam kepengurusan sebagai syarat UU," katanya.

Dengan ketentuan tersebut, sambung Ade, kader perempuan dalam Parpol akan sulit menjangkau keputusan dan jabatan strategis partai.

Perkuat Demokrasi

Sementara itu, pengamat politik dari LIPI, Nurhasim mengatakan dalam revisi UU Parpol mendatang perlu memberi pengaturan batas jabatan ketua umum Parpol. Hal itu untuk memperkuat demokrasi internal partai. Sebab, jika tidak dibatasi maka Parpol akan dipenuhi dinasti, personalisasi, dan rawan dikooptasi oleh pihak tertentu.

"Kalau pembatasan masa jabatan ketua umum Parpol jadi perdebatan, maka perlu dilakukan proses penjamin demokrasi internal partai bekerja. Kalau yang terjadi proses pemilihannya aklamasi ini akan jadi problem," imbuhnya.

Ia menilai, ada kecenderungan Parpol tidak ingin melakukan pembatasan terhadap kekuasaan internal partai. Sebab, tidak ada pembatasan kekuasaan internal partai menjadi cara untuk menguasai politik Indonesia.

"Saya kira 4 periode sudah cukup lelah bagi ketua umum memimpin partai. Adanya pembatasan pun menjadi solusi agar Parpol tidak dikuasai dinasti dan orang-orang kuat. Kemudian dengan upaya ini mendorong Parpol menjadi organisasi yang modern," tandasnya.

dis/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top