Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter

Era Suku Bunga Tinggi Diperkirakan Masih Berlanjut

Foto : ISTIMEWA

Badiul Hadi Manajer Riset Seknas Fitra - Jika the Fed mempertahankan suku bunga maka aliran modal masuk ke AS akan lebih besar karena imbal hasil yang lebih menarik.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Para pelaku di pasar keuangan diperkirakan cemas menanti pengumuman suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Fed Fund Rate (FFR). Mereka bukan cemas karena kebijakan suku bunga yang diperkirakan tetap di target 5,25-5,5 persen, tetapi komentar mengenai proyeksi waktu berakhirnya era suku bunga tinggi.

Hal itu karena optimisme pasar terhadap pemangkasan suku bunga the Fed pada tahun ini besar. Sementara data-data ekonomi AS terakhir menunjukkan bahwa ekonomi negara adidaya tersebut masih kuat, sehingga muncul perkiraan bahwa penurunan inflasi sesuai target 2 persen dipandang masih jauh.

Sedangkan dalam berbagai kesempatan, para petinggi the Fed kerap menyampaikan pernyataan kalau target inflasi sebagai kunci utama bagi the Fed untuk lebih yakin menurunkan suku bunga.

Ketidakpastian membuat para pelaku pasar lebih nyaman mengambil sikap wait and see. Hal ini yang kemudian menyeret performa pasar keuangan Indonesia ke zona negatif.

Prinsipal Edward Jones dan ahli strategi investasi senior Mona Mahajan mengatakan narasi pendaratan lunak tetap utuh dan potensi pemotongan suku bunga dari bank sentral yang dikombinasikan dengan moderasi inflasi dapat memberikan latar belakang yang kuat untuk perluasan pasar yang berkelanjutan.

Masih Berlanjut

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan era suku bunga tinggi setidaknya sejak pandemi Covid-19, di mana inflasi global meningkat tajam termasuk AS. Sebab itu, the Fed menaikkan suku bunga yang sangat progresif pada 2022.

"Era suku bunga tinggi ini saya kira akan tetap berlanjut sampai the Fed merasa inflasi AS betul-betul terkendali dan menunjukkan pelambatan signifikan di sekitar angka 2 persen dan data pertumbuhan ekonomi yang stabil," kata Badiul.

Kalau melihat tren, pelaku pasar berharap era suku bunga tinggi ini berakhir maksimal pada akhir 2024, meskipun harapan itu masih sulit terpenuhi.

Bagi Indonesia, kata Badiul, era suku bunga tinggi ini berdampak pada berbagai aspek perekonomian, seperti arus modal, nilai tukar dan kebijakan moneter di tingkat domestik.

Pemerintah dan sektor swasta perlu membuat strategi yang adaptif sehingga dampak negatif suku bunga tinggi bisa dihindari.

"Jika the Fed mempertahankan suku bunga maka aliran modal masuk ke AS akan lebih besar karena imbal hasil yang lebih menarik. Situasi ini bisa menyebabkan arus modal asing keluar dari pasar modal dan obligasi yang bisa berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah," kata Badiul.

Suku bunga the Fed, tambahnya, juga berdampak pada pendanaan internasional. Sebab itu, perusahan-perusahaan yang punya utang dalam denominasi dollar AS akan terbebani biaya bunga yang berdampak pada cash flow. Mereka pun disarankan untuk melakukan hedging atau lindung nilai.

"Jika ini berlangsung, BI perlu memikirkan untuk mempertahankan bahkan menaikkan suku bunga," kata Badiul.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top