Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Ekonomi - Tiongkok Catat Pertumbuhan Terendah dalam 28 Tahun Terakhir

Ekspor Diprediksi Tersendat, Segera Naikkan Tarif Impor

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diharapkan segera merealisasikan rencana untuk menaikkan tarif impor terutama pada barang yang bisa diproduksi di dalam negeri. Ini bertujuan untuk mengerem laju impor guna memperbaiki defisit neraca perdagangan.

Sebab, di sisi lain, pertumbuhan ekspor Indonesia diprediksi bakal tersendat menyusul perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pada akhirnya juga akan menekan perekonomian global. Peneliti Indef, Reza Akbar, mengemukakan untuk mengurangi impor, sudah sepantasnya pemerintah menaikkan tarif impor, khususnya untuk berbagai barang yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri.

"Selanjutnya, untuk memacu pendapatan ekspor, pemerintah mesti menggunakan instrumen fiskal agar ekspor produk manufaktur meningkat dan negara tujuan dagang makin bertambah," ujar dia, di Jakarta, Senin (21/1).

Menurut Reza, Indonesia terus-menerus bergantung impor karena permintaan dalam negeri yang besar tidak didukung dari sisi produksi atau penawaran. Padahal, semestinya ketiadaan supply itu seharusnya hanya untuk barang yang memang tidak ada sumber dayanya di Indonesia. "Tapi, sebenarnya kita itu punya potensi sumber dayanya. Sayangnya, itu nggak dikelola maksimal," kata Reza.

Sebelumnya dikabarkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, berencana menaikkan tarif impor untuk memperbaiki pelebaran defisit perdagangan, jika Indonesia tidak mampu mendorong ekspor akibat perlambatan ekonomi global. Pemerintah telah menaikkan tarif impor untuk 1.100 item pada 2018, setelah rupiah melemah hingga level terendah sejak krisis keuangan Asia 1997-1998.

"Apakah melalui tarif impor atau memacu pendapatan ekspor, kami akan memastikan bahwa kami akan menggunakan instrumen fiskal untuk mendukung ekspor," ujar Sri Mulyani kepada Financial Times. "Jika diperlukan, ketika ekspor tidak dapat mengejar... maka kita harus menerima bahwa defisit transaksi berjalan hanya bisa dipersempit dengan memangkas impor," imbuh dia.

Menkeu mengungkapkan hal itu ketika Indonesia mengumumkan rekor terburuk defisit perdagangan pada 2018 sebesar 8,57 miliar dollar AS. Reza menambahkan, rendahnya sisi produksi terutama disebabkan lemahnya struktur industri dalam negeri. Beberapa faktor penyebabnya adalah tidak efisien dan minimnya infrastruktur.

Namun, saat ini sudah banyak dibangun infrastruktur sehingga seharusnya industri lebih berdaya saing. "Sehingga barang-barang impor itu bisa diproduksi di dalam negeri dengan lebih efisien dan kompetitif. Akhirnya, kita nggak perlu impor," papar dia.

Kinerja Ekspor

Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Service, menyatakan berlanjutnya perlambatan ekonomi Tiongkok bakal menekan kinerja ekspor Indonesia pada 2019. Sebab, perlambatan itu akan menyusutkan permintaan impor Tiongkok ke sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 6,6 persen pada tahun lalu merupakan yang terendah dalam 28 tahun terakhir atau sejak 1990. Ini disebabkan investasi yang lesu dan tekanan perdagangan dari Amerika Serikat (AS). Perlambatan Tiongkok itu juga memicu kekhawatiran tentang risiko pertumbuhan ekonomi dunia.

Moody's memprediksi pertumbuhan Tiongkok akan berada di level 6 persen pada 2019, atau menurun tajam dibandingkan yang dicapai pada 2018. Ini disebabkan perdagangan yang lesu akibat perang dagang, ditambah dengan pengetatan kredit sejak 2018. Akibatnya, aktivitas impor komoditas dari Negeri Tirai Bambu itu akan melemah, dan berdampak langsung ke negara pengekspor sektor ekstraktif seperti Indonesia.

Kinerja perdagangan internasional juga akan terpukul oleh pelemahan harga komoditas. Dampak tersebut bisa semakin besar karena Tiongkok adalah pasar ekspor utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok mencapai 22,7 miliar dollar AS atau 15,12 persen dari total pangsa pasar ekspor Indonesia.

Baca Juga :
Menanti Rapat The Fed

Selain itu, Moody's juga mencatat nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok sekitar 2,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Moody's mengatakan aktivitas ekspor masih memiliki peluang karena pengalihan permintaan impor AS dari Tiongkok setelah perang dagang dimulai, khususnya untuk komponen elektronik, tekstil, mesin listrik, dan otomotif.

Akan tetapi, Moody's menilai Indonesia belum dapat menerima manfaat pengalihan permintaan AS, karena ekspor produk elektronik ke Tiongkok hanya 0,1 persen terhadap PDB, bahkan nol persen ke AS.

ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top