Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Wisata Maluku Tengah

Duurstede, Saksi Perlawanan Pattimura di Saparua

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Saparua dahulu kala pernah menjadi lokasi perlawanan rakyat Maluku melawan aturan Belanda yang sewenang-wenang. Aksi heroik pimpinan Kapitan Pattimura, berhasil merebut "Duurstede", sebuah benteng pertahanan, yang kemudian berhasil mengguncangkan posisi Belanda.

Saparua, sebuah pulau kecil seluas 247 kilometer persegi, pernah menjadi saksi bagi kehadiran bangsa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Pulau kaya rempah berupa pala dan cengkeh ini, ideal bagi pusat perdagangan karena pelabuhannya yang berada di teluk cukup tenang ketika angin barat bertiup.

Ketika Portugis datang, mereka mendirikan benteng di tepi pantai di teluk itu. Saat Belanda mengusir Portugis, benteng ini kemudian dibangun kembali oleh Arnold de Vlaming van Oudtshoorn, Gubernur Hindia Belanda di Maluku pada 1676. Pembangunan benteng ini dilanjutkan oleh Gubernur Nicolaas Schaghen pada 1691 dan Schaghen kemudian menamai benteng ini denganDuurstedeyang artinya "kota mahal."

Benteng Duurstede yang indah dan megah juga menjadi saksi perlawanan heroik rakyat Saparua melawan Belanda atau yang dikenal dengan Perang Saparua. Dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura, perlawanan rakyat ini berlangsung selama dua hari antara 15-16 Mei 1817. Dalam perlawanan itu, benteng pertahanan Belanda itu berhasil direbut rakyat Maluku.

Selain merebut benteng itu, rakyat membunuh Residen Johannes Rudolph van den Berg dan hampir semua warga Belanda. Satu-satunya orang Belanda yang selamat adalah putra Van den Berg yang baru berusia lima tahun, Jean Lubbert van den Berg.

Dikuasainya Benteng Duurstede semakin mengobarkan semangat perlawanan dari berbagai wilayah di Kepulauan Maluku, seperti Ambon, Seram, Hitu, selain Saparua sendiri. Pada 20 Mei 1817, diadakan rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda.

Peringatan kebulatan tekad tesebut dikenal dengan nama Proklamasi Porto Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan ditandatangani oleh 21 raja patih dari Pulau Saparua dan Nusalaut. Proklamasi itu membangkitkan semangat juang yang mendorong tumbuhnya front-front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku Utara.

Patimura yang dikukuhkan sebagai Kapiten Besar dalam rapat raksasa melalui upacara adat, kemudian memilih beberapa orang untuk membantunya berjuang melawan Belanda. Mereka adalah Anthoni Rhebok, Philips Latumahina, Lucas Selano, Arong Lisapaly, Melchior Kesaulya dan Sarasa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.

Mengapa rakyat Maluku marah? Menurut catatan sejarah, Inggris meninggalkan wilayah itu setelah berada di sana antara antara 1796 dan 1816. Namun setelah perjanjian Traktat London pada 1814, Belanda kembali mengambil alih Maluku dari tangan Inggris. Kehadiran Belanda dengan aturan yang menekan, membuat rakyat marah.

Rakyat Maluku merasa tertindas dan menderita karena dipaksa menyediakan kebutuhan makanan untuk kapal perang Belanda. Bahkan ada aturan yang memaksa pemuda di Maluku untuk ikut berperang bersama Belanda. Sikap sewenang-wenang dari Residen Van den Berg membuat rakyat semakin marah.

Para tokoh dan pemuda di Maluku merasa tidak puas dengan kebijakan Belanda akhirnya membuat pertemuan rahasia untuk menyusun perlawanan. Di antaranya pertemuan itu dilakukan di Pulau Haruku dan di Pulau Saparua pada 14 Mei 1817, sebelum penyerangan Benteng Duurstede dilakukan.

Padamkan Perlawanan

Direbutnya Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku membuat kedudukan Belanda di Ambon dan Batavia guncang. Namun karena rempah, penjajah itu kemudian mengerahkan armada yang sangat besar untuk memadamkan perlawanan rakyat.

Dengan bantuan Raja Ternate dan Tidore, Belanda melakukan penguasaan dan vandalisme yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal AA Buyskers. Strategi tersebut ternyata cukup berhasil sehingga Pattimura beserta pasukannya terdesak ke hutan sagu dan pegunungan, hingga akhirnya Kapitan Pattimura beserta tiga orang panglima berhasil ditangkap.

Pattimura akhirnya mengakhiri perjuangannya di tiang gantungan bersama rekan-rekannya pada 16 Desember 1817 di Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon, sekaligus berakhirnya kekuasan rakyat terhadap Benteng Duurstede.

Benteng Duurstede beralamat di Desa Saparua, Kota Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, desain arsitekturnya cukup artistik. Dari atas bentuk banteng ini berbentuk oval. Di bangun di atas bukit karang bangunannya memiliki ketinggian 7 meter.

Benteng Duurstede saat ini dapat dilihat dari empat desa di sekitarnya yaitu Paperu, Waisisil, Booi, dan Siri-Sori Islam. Karena letaknya yang strategis ini, maka tidak heran benteng ini memiliki peran penting secara militer.

Namun sejak 1992 Benteng Duurstede ini sudah tidak lagi difungsikan. Meski telah dibiarkan sejak lama, tembok benteng dengan ketebalan 1,25 meter dan tinggi 5 meter itu masih terlihat utuh, hanya rumah Belanda yang dahulu ada di dalam benteng yang sudah tidak terlihat.

Benteng Duurstede memiliki luas 3.970 meter persegi, sementara itu luas bangunan di dalam benteng adalah 1.429 meter persegi. Di dalam benteng terdapat lima meriam yang dipasang di sela-sela tembok benteng. Posisi ini seolah meriam-meriam itu akan menembak musuh di lautan biru Teluk Saparua yang tenang.

Desa Saparua tempat Benteng Duurstede berada berjarak 52,3 kilometer dari Kota Ambon. Lokasi tersebut bisa dijangkau dengan kapal cepat dalam perjalanan selama 1,5 jam dari Pelabuhan Tulehu, Ambon, menuju Pelabuhan Haria di sisi barat pulau. Perjalanan menuju benteng akan dilanjutkan melalui perjalanan darat sejauh 5,8 kilometer.

Tarif kapal cepat sebesar 200 ribu untuk kelas VIP, dan 105 ribu untuk kelas eksekutif. Kapal cepat dari Pelabuhan Tulehu ke Pelabuhan Haria tersedia setiap Senin hingga Sabtu pukul 09.00 WIT dan pukul 16.00 WIT, sedangkan pada Minggu libur.

Benteng peninggalan bangsa Eropa yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya melalui SK penetapan dengan nomor SK 013/M/1999, dibuka untuk umum setiap hari mulai pukul 08.00 WIT hingga pukul 18.00 WIT. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top