Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Dulu, Korea Tempat Adu Pengaruh Jepang dan Tiongkok

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pada zaman kuno, Korea menjadi jembatan hubungan antara Tiongkok dan Jepang. Selain itu, wilayah yang dikuasai beberapa kerajaan ini menjadi objek adu pengaruh yang menimbulkan peperangan.

Di zaman kuno, Asia timur didominasi oleh tiga negara yang sekarang dikenal sebagai Jepang, Korea, dan Tiongkok. Kerajaan-kerajaan di negara-negara tersebut saling memperdagangkan bahan mentah dan barang-barang manufaktur berkualitas tinggi, bertukar ide dan praktik budaya, sekaligus saling berperang.

Rantai kompleks kerajaan-kerajaan yang berurutan di ketiga negara bagian tersebut telah menciptakan jaringan peristiwa yang kaya dan terkadang sulit diuraikan oleh para sejarawan. Sebuah situasi yang tidak terkait dengan klaim dan cita-cita nasionalis modern dari ketiga pihak.

Seperti yang dikatakan sejarawan Kim Won-Yong, Korea bertindak sebagai jembatan budaya antara Tiongkok dan Jepang. Tapi sejarawan terus membahas apakah jembatan itu adalah lalu lintas satu arah atau dua arah. Namun yang jelas, jembatan budaya itu dapat terlihat dalam seni, politik, dan sejarah di kedua negara masih beresonansi hari ini.

Kontak pertama antara pulau-pulau Jepang dan Semenanjung Korea diperkirakan terjadi pada periode Neolitik (6000-1000 SM). Saat itu permukaan laut yang lebih rendah menciptakan kedekatan geografis antara kedua wilayah.

Namun, ikatan pertama yang tercatat antara Jepang, khususnya Pulau Kyushu, yang oleh orang Korea disebut Wae (dan Wa oleh orang Tiongkok), terjadi pada periode yang dikenal sebagai periode proto-Tiga Kerajaan antara abad ke-1 dan ke-3 M.

Wilayah-wilayah yang terfragmentasi di selatan semenanjung itu belum menjadi negara terpusat, tetapi hubungan internasional dikembangkan oleh komando Tiongkok yang menduduki utara Korea saat ini, terutama di wilayah Lelang.

Utusan dan upeti dikirim oleh Wa, sekarang konfederasi negara-negara kecil di selatan dan barat Jepang, yang paling penting adalah periode Yamato. Misi-misi ini tercatat pada 57, 107, 238, dan 248 M.

Sejak abad ke-4 M dan seterusnya, Korea didominasi oleh tiga kerajaan yaitu Baekje (Paekche), Goguryeo (Koguryo), dan Silla, serta entitas keempat, yang kurang terpusat yaitu konfederasi Gaya (Kaya). Diantara keempat kerajaan, Gaya yang memiliki hubungan paling dekat dengan Jepang.

Para ahli terus memperdebatkan mana yang lebih mempengaruhi yang lain, dan masalah ini sering diwarnai oleh bias nasionalistik sehingga beberapa sejarawan mengklaim bahwa Gaya adalah koloni Jepang. Sedangkan sejarawan lain mengusulkan bahwa penunggang kuda dari padang rumput Eurasia datang ke Jepang melalui Gaya dan merekalah yang memperkenalkan penguburan tumulus (gundukan tanah dan batu).

Walau bukti itu kurang kuat, sebagian besar sarjana setuju menyatakan Kerajaan Gaya memiliki budaya yang lebih maju. Di sini ditemukan baju besi kuda yang dibuktikan dengan penemuan makam abad ke-5 di Pokchon-dong.

Dari hubungan dengan Gaya di masa lalu, pendudukan Jepang di Korea pada abad ke-20 M untuk mengulang sejarah masa lalu dari interpretasi buku Nihon Shogi, teks abad ke ke-8 M yang menyatakan bahwa antara 369 M dan 562 M, wilayah dari Korea di selatan itu merupakan koloni Jepang.

Namun, banyak sejarawan mengabaikan pendapat tersebut sebagai tidak dapat diandalkan. Klaim ini disebut bias nasionalisme. Jepang saat itu tidak memiliki teknologi, sumber daya, atau pemerintah terpusat yang diperlukan untuk menaklukkan wilayah asing di seberang lautan.

Kemungkinan Hubungan

Sementara itu Michael J Seth dalam buku A History of Korea (Rowman & Littlefield Publishers, 2010) meringkas kemungkinan hubungan kompleks antara kedua negara dalam periode sejarah yang suram itu. Wa di Jepang barat mungkin tinggal di kedua sisi selat Korea, dan mereka tampaknya memiliki hubungan dekat dengan Gaya. Bahkan ada kemungkinan bahwa Wa dan Kaya adalah kelompok etnis yang sama.

Fakta bahwa evolusi politik Jepang dan Korea mengikuti pola yang sama terlalu mencolok untuk menjadi kebetulan. Lebih pasti daripada sejarah politik yang tepat adalah bahwa besi adalah ekspor Gaya yang paling penting ke Jepang.

Para pembuat tembikar Gaya kemungkinan juga meneruskan inovasi periuk abu-abu (dojil) dengan api tinggi ke Jepang, di mana periuk sueki (atau sue) yang terkenal akan diproduksi sebagai hasilnya. Gaya juga mengekspor barang-barang besi manufaktur seperti alat-alat pertanian, pedang, pelindung tubuh berpaku, helm, dan mata panah.

Ekspor sukses lainnya adalah gayageum (kayagum), sebuah sitar dengan 12 senar sutra yang diperkirakan telah ditemukan oleh Raja Gasil pada abad ke-6. Alat musik ini digunakan oleh para musisi di Jepang dan yang tetap menjadi simbol kuat budaya Korea bahkan hingga hari ini.

Kerajaan Baekje juga menjalin hubungan perdagangan dan budaya dengan Jepang selama Periode Asuka (538-710 M). Budaya Baekje diekspor, terutama melalui guru, cendekiawan, dan seniman, yang juga menyebarkan unsur-unsur budaya Tionghoa di sana.

Para pedagang dan pemukim dari Baekje dan Gaya datang menanam padi, tembikar yang dilempar dengan roda, sistem peringkat sosial, kode hukum dan pemerintahan, teks klasik Konfusius dan bahasa Altai di Asia timur laut.

Biksu Baekje mungkin telah menyebarkan tulisan Tiongkok ke Jepang pada 405 M dan agama Buddha pada 538 M. Selain itu, elemen desain arsitektur Baekje dapat dilihat di banyak bangunan kayu yang masih ada (misalnya kuil Horyuji di Nara) dan di ruang makam horizontal di Jepang karena sejumlah besar pengrajin Baekje pergi ke sana ketika Wa masih bersekutu dengan Jepang.

Hubungan yang lebih dari sekadar perdagangan dibuktikan dengan serangan gabungan Baekje-Gaya-Wa di Silla pada 400 M yang dikirim oleh Raja Goguryeo Gwanggaeto Agung. Pada 660 M, sekali lagi Baekje memohon bantuan militer Wa dalam menghadapi pasukan gabungan Dinasti Silla dan kerajaan dari Dinasti Tang.

Baekje berhasil di ditaklukkan oleh Silla, tetapi pasukan pemberontak bertahan dan berhasil membujuk sekutu Jepang mereka untuk mengirim lebih dari 30.000 tentara. Sayangnya usaha ini berhasil dihancurkan oleh pasukan angkatan laut gabungan Silla-Tang di Sungai Baecheon (sekarang Kum), dan nasib Baekje ditentukan.

Kerajaan Goguryeo di Korea juga berdagang dengan Jepang kuno dan para seniman dan cendekiawan diketahui telah tinggal selama beberapa waktu di Yamato. Bukti pertukaran budaya paling jelas terlihat pada lukisan makam yang hari ini dirayakan kerajaannya dan karya-karya Makam Fujinoki di Ikaruga.

Kemungkinan besar para imigran yang melarikan diri dari Kerajaan Goguryeo yang runtuh setelah kehancurannya di tangan Silla membawa praktik budaya ini dan lainnya ke Jepang, seperti yang dilakukan rekan-rekan mereka dari Baekje. hay/I-1

Negeri Ginseng Beri Pengaruh Kuat Pada Budaya Jepang

Ketika Kerajaan Silla bersatu menguasai seluruh Semenanjung Korea dari 668 M, hubungan tetap dipertahankan dengan Jepang selatan, terutama pada periode Nara dan Heian. Hubungan perdagangan dan persyaratan damai adalah kepentingan Jepang jika mereka ingin mengakses pasar Tiongkok yang menguntungkan tanpa hambatan.

Namun, sekali lagi, permusuhan terbuka tidak pernah jauh antara Silla yang didukung Tiongkok dengan Jepang. Seperti pada 733 M, Jepang mengirim armada untuk menyerang wilayah Silla. Serangan kembali diulang pada 746 M, kali ini dengan 300 armada kapal.

Setelah serangan yang selalu gagal itu, dekade berikutnya hubungan cenderung stabil. Keduanya saling mengirim duta besar, perdagangan ditingkatkan oleh panglima perang Silla yang hebat, Jang Bogo. Silla memiliki memiliki kantor administratif permanen di Dazaifu di Kyushu, Jepang barat, di mana Jepang mempekerjakan tim penerjemah Silla.

Meski hubungan dagang berlangsung cukup baik tapi bajak laut Silla terus mengganggu pedagang pesisir Jepang sepanjang abad ke-9 masehi. Puncak hubungan dagang terjadi ketika Dinasti Goryeo berkuasa.

Ketika kerajaan Goryeo (Koryo) menggantikan Silla sebagai penguasa Korea sejak awal abad ke-10, hubungan perdagangan berlanjut dan barang-barang Jepang diimpor, terutama pedang, merkuri, jeruk keprok, mutiara, dan kipas lipat kertas. Sementara itu Goryeo mengekspor gandum, kertas, tinta, ginseng, tikar jerami, dan buku sebagai balasannya.

Biksu Buddha Goryeo melakukan perjalanan ke Jepang dan meninggalkan bukti keterampilan artistik dan arsitektur mereka di sana. Pada 1231 M, bangsa Mongol yang dipimpin oleh Ogedei Khan menginvasi Korea dalam serangan pertama dari enam serangan selama beberapa dekade berikutnya.

Kerajaan Goryeo sepakat untuk membuat perdamaian dengan Bangsa Mongol. Isi perdamaian dibuat pada 1258 M berupa kewajiban untuk menyediakan kapal dan bahan untuk invasi Mongol ke Jepang pada 1274 dan 1281 M. Seperti invasi ke Jawa, invasi itu terbukti gagal.

Selanjutnya hubungan antara Korea dan Jepang berganti-ganti antara kemitraan perdagangan yang bersahabat dan permusuhan langsung selama berabad-abad berikutnya. Pembajakan menjadi masalah besar dengan armada besar yang mengangkut pihak penyerang yang mengarah jauh ke dalam wilayah Korea.

Hal ini menyebabkan Raja Taejong dari Kerajaan Joseon (Choson) menyerang pangkalan bajak laut Jepang di Pulau Tsushima pada 1419 M. Meskipun tindakan ini tidak membasmi bajak laut (waegu) sepenuhnya, hal itu memungkinkan kesepakatan perdagangan disepakati dengan Jepang, Perjanjian Gyehae, yang dibuat pada 1443 M.

Pada akhir abad ke-16 M, banyak pembuat tembikar dan seniman Korea dibawa secara paksa ke Jepang setelah invasi Toyotomi Hideyoshi ke Semenanjung Korea. Perang ini disebut sebagai 'Perang Tembikar' tetapi lebih umum sebagai Perang Imjin (1592-8 M).

Seniman-seniman Negeri Ginseng dikagumi karena kemampuannya membuat porselen putih yang diproduksi dalam jumlah besar. Perabotan ini memiliki pengaruh yang signifikan pada peralatan Satsuma Jepang. Pada invasi itu banyak situs budaya dan karya seni dihancurkan dan sebagian dibawa ke Jepang.

Hubungan Jepang-Korea lebih buruk lagi diikuti dengan Perang Tiongkok-Jepang antara 1894-1895 M yang terjadi di tanah Korea. Jepang kembali melakukan pendudukan Jepang penuh di semenanjung itu sampai akhir Perang Dunia II. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top