Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Dukungan Uni Soviet dalam Merebut Irian Barat dari Belanda

Foto : HO/HO/AFP

Nikita Khrushchev

A   A   A   Pengaturan Font

Memanfaatkan momentum perang dingin, Indonesia mampu memanfaatkan Uni Soviet untuk mengusir Belanda yang berada di pihak Sekutu. Para pemimpin saat itu berhasil mendatangkan peralatan militer canggih yang memberi efek getar bagi lawan.

Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) merupakan operasi militer yang dilancarkan Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda di Irian Barat (Papua) yang disebut juga West New Guinea. Operasi ini dimulai pada bulan Desember 1961 dan berakhir pada bulan Agustus 1962. Operasi ini berakhir dengan pendudukan militer Indonesia terhadap Irian Barat.
Dr David Easter, Dosen di Departemen Studi Perang di King's College London, menyebutkan krisis yang terjadi di West New Guinea atau Irian Barat (Papua) yang terjadi pada 1962, hingga perginya Belanda dengan melakukan transfer kekuasaan wilayah itu ke Indonesia pada 1 Mei 1963, hal itu tidak lepas dari peran Uni Soviet.
Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet, Nikita Khrushchev, diam-diam memasok Indonesia dengan kapal selam dan pesawat pengebom berawak Soviet. Negara itu juga mempersiapkan unit-unit ini untuk berpartisipasi dalam serangan Indonesia melawan Belanda. Selain itu, Soviet juga membantu Indonesia menyusun rencana operasional.
Easter mengatakan mantan perwira angkatan laut Soviet telah mengungkapkan di media Russia dan Belanda bawah mereka mengambil bagian dalam operasi untuk membantu Indonesia. Pada 1962, Soviet memberi kapal selam dan pembom. Diawaki oleh personil militer Soviet, mereka akan melakukan serangan besar-besaran di Irian Barat.
Edisi revisi memoar pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev, mendukung klaim Indonesia. Selanjutnya, seorang peneliti Belanda, Matthijs Ooms, telah menunjukkan bahwa dinas intelijen angkatan laut Belanda, Marine Inlichtingendienst (Marid), menerima informasi pada musim panas 1962 jika tentara Soviet mengawaki kapal selam Indonesia.
Perilaku agresif Soviet ini mengubah Irian Barat berpotensi krisis Perang Dingin. Pasalnya Belanda adalah sekutu NATO Amerika Serikat (AS). Washington bahkan mengetahui pengerahan rahasia Soviet. Keterlibatannya dalam serangan Indonesia dapat menyebabkan konfrontasi negara adidaya.
Secara lebih luas, operasi Soviet di Irian Barat menyoroti kebijakan luar negeri Khrushchev di awal 1960-an. Bersama dengan contoh-contoh lain, siap menggunakan unit militer secara diam-diam untuk mendukung perang pembebasan nasional di negara berkembang.
Krisis Irian Barat terjadi setelah proses dekolonisasi Belanda di Asia Tenggara. Belanda memberi kemerdekaan kepada sebagian besar wilayah Hindia Belanda pada 1949. Namun negara itu ingin tetap bertahan Irian Barat.
Oleh Presiden Indonesia, Soekarno, menentang langkah Belanda itu dengan mendorongnya keluar dari wilayah itu dan menyerahkan kedaulatan ke Indonesia. Namun Belanda menolak dengan menyatakan wilayah itu tidak berbagi perbatasan darat dengan Indonesia. Belanda berpendapat Papua secara etnis berbeda mereka pada waktunya harus menggunakan hak penentuan nasib sendiri.
Perundingan mengenai masalah ini menemui jalan buntu sehingga Soekarno menerapkan tekanan ekonomi dan diplomatik yang meningkat pada Belanda. Pada tahun 1957 ia menyita aset komersial Belanda di Indonesia dan pada 1960, memutuskan hubungan diplomatik.
Opsi itu tidak tersebut ternyata tidak mempan. Oleh karenanya Soekarno Menggunakan pilihan militer dengan dengan membentuk komando militer Mandala pada 2 Januari 1962. Indonesia mengembangkan angkatan laut, udara dan darat di Indonesia sebagai persiapan untuk perang skala penuh.
Tahap kedua akan dimulai pada awal tahun 1963 dengan operasi untuk merebut dan menduduki pulau kecil Biak, tepat di utara Irian barat, yang merupakan pusat pertahanan Belanda. Pada fase ketiga, Indonesia akan menguasai sisa wilayah tersebut.
Sukarno dapat mempertimbangkan tindakan tersebut terhadap Belanda karena telah menerima dukungan kuat dari Khrushchev. Propaganda dan diplomasi Soviet saat itu mendukung klaim Indonesia atas Irian Barat dilakukan dengan memasok persenjataan modern dalam jumlah besar.
Sampai 1962 Indonesia merupakan negara non komunis dan negara Non Blok yang menerima bantuan militer Blok Uni Soviet. Awalnya memperoleh peralatannya melalui negara satelit Eropa Timur Moskwa. Pada membeli senjata senilai 182 juta dollar AS dari Polandia dan Cekoslowakia pada 1958. Tujuannya melengkapi alutsista Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Pembelian itu berupa jet tempur dan kapal selam diesel-listrik Project 613. Pada Januari dan Februari 1961 Sukarno menandatangani kesepakatan yang ditandatangani langsung dengan Soviet. Negara itu setuju memasok senjata senilai 521 juta dollar antara tahun 1961 dan 1964, termasuk empat lagi kapal selam Project 613, kapal perusak, dan sebuah kapal penjelajah ringan.
Yang cukup menggetarkan lawan AURI akan menerima pesawat militer Soviet terbaru yaitu 20 pesawat tempur MiG-21 dan 20 pembom menengah Tu-16. Enam di antaranya adalah varian Tu-16KS yang dipersenjatai dengan rudal anti-kapal Kometa udara ke permukaan.
Kometa adalah senjata yang tangguh, dengan jangkauan 70-90 kilometer dan hulu ledak satu ton. "Senjata-senjata itu dijual secara kredit dan syarat-syaratnya murah hati, memberikan potongan harga sepertiga dari harga pokok nominal dan memungkinkan pembayaran ditangguhkan sampai tahun 1964," tulis Easter.
Perkembangan ini menyebabkan kegelisahan di Washington. Khrushchev tampaknya mengeksploitasi isu Irian Barat dan melimpahi Sukarno dengan senjata agar beralih ke kubu Soviet. Indonesia secara resmi non-blok dalam Perang Dingin tetapi Soekarno adalah seorang kritikus vokal imperialisme Barat.
Sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang mendesak menggunakan segala cara untuk 'membebaskan' Irian Barat. Tujuannya jika perang Indonesia-Belanda benar-benar pecah, hal itu dapat membuat Sukarno semakin dekat dengan Soviet dan memperkuat PKI, dan meninggalkan Non Blok.
Kedekatan Indonesia dengan Soviet membuat AS mendorong Belanda ke dalam negosiasi serius sampai akhirnya menarik diri dari koloni. Pada 1962, sengketa Irian Barat telah mengambil dimensi Perang Dingin. Soviet memasok dengan senjata sementara AS mempromosikan penyelesaian dengan perundingan.
Kecemasan Amerika diperparah dengan bentrokan angkatan laut Indonesia-Belanda pada 15 Januari 1962 yang dikenal dengan Pertempuran Laut Aru. Insiden ini terjadi sewaktu dua kapal jenis destroyer, pesawat jenis Neptune dan Firefly milik Belanda menyerang RI Matjan Tutul (650), RI Matjan Kumbang (653) dan RI Harimau (654). Dalam pertempuran itu Komodor Yos Sudarso gugur. hay

Ancaman Kapal Selam dan Pesawat Pembom

Pada awal Februari 1962, kepala AURI yang baru, Omar Dani, terbang ke Moskwa dan bertemu dengan Khrushchev. Dia meminta lebih banyak pesawat tempur MiG-21 dan pembom Tu-16. Sayangnya perjalanan Dani bertepatan dengan kunjungan Robert Kennedy ke Jakarta dan dia menemukan Soviet curiga dan kritis terhadap perilaku Indonesia.
Soviet menolak untuk menyediakan pesawat yang diminta Dani, meskipun mereka menyediakan 200 penasihat militer dan berjanji untuk mempercepat pekerjaan di lokasi misil darat ke udara di dekat Jakarta. Pada tanggal 16 Maret Duta Besar Soviet di Jakarta mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio.
Selanjutnya terbang ke Moskwa untuk meminta 'kapal selam, pesawat dan komandan untuk hal-hal ini.' Meskipun, atau mungkin karena gesekan baru-baru ini antara Moskwa dan Jakarta, Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet Nikita Khrushchev memberi Sukarno apa yang dia inginkan.
Anastas Mikoyan, Wakil Ketua Pertama Soviet mengatakan kepada perwira militer Soviet pada bulan November 1962 dengan mengatakan,"Dia bertanya dan kami memberinya beberapa kapal selam dengan awak Soviet, beberapa (saya tidak bisa menyebutkan jumlahnya) TU-16 dengan rudal antikapal, sehingga mereka bisa menghancurkan kapal-kapal Belanda," katanya.
Dilihat dari komentar Mikoyan dan pengiriman senjata setelah kesepakatan ditandatangani, Soviet setuju untuk memberi Indonesia enam kapal selam Project 613 lagi dan enam pembom Tu-16KS yang dilengkapi dengan rudal anti-kapal Kometa. Personel Soviet akan menjaga pembom Tu-16KS serta kapal selam.
Soviet dengan cepat mengirim persenjataan ke Indonesia dengan kapal selam yang datang dari Armada Pasifik Soviet. Pada bulan Mei dua kapal selam Proyek 613 meninggalkan Vladivostok. Di atas kapal, salah satunya adalah Rudolf Ryzhikov, seorang perwira angkatan laut Soviet yang kemudian menulis pengalamannya.
Setelah menempuh perjalanan selama 15 hari, kapal selam Ryzhikov tiba di pelabuhan Surabaya di Jawa dan para awak kapal diperintahkan untuk berganti seragam ALRI. Pada 18 Mei 1962, Central Intelligence Agency (CIA) tahu Soviet telah setuju untuk memberi Subandrio kapal selam Proyek 613 dan pada 29 Juni 1962 pesawat pembom Tu-16 telah mendarat di Jakarta.
Pesawat tersebut merupakan varian Tu-16KS yang mampu membawa rudal Kometa. CIA kagum dengan kecepatan pengiriman. "…adalah yang tercepat yang pernah dicatat untuk peralatan kompleks seperti itu di bawah kesepakatan senjata Soviet dengan negara Nonblok," tulis Dr David Easter adalah Dosen di Departemen Studi Perang di King's College London. hay


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top