Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Drakor The Glory dan Sulitnya Korea Selatan Atasi Kasus Bullying di Sekolah

Foto : Netflix

Cuplikan serial "The Glory".

A   A   A   Pengaturan Font

Penindasan atau bullying di sekolah menjadi salah satu masalah paling menonjol yang dihadapi remaja di Korea Selatan. Melalui komunitas online, korban bully silih berganti membagikan cerita mengenaskan yang mereka alami semasa sekolah.

Parahnya, cerita yang mereka bagikan tidak hanya perihal pelecehan fisik dan mental yang dilakukan oleh sesama siswa, tetapi juga kelalaian otoritas sekolah dalam menanggapi masalah bullying di instansi mereka.

Bullying yang dilakukan oleh anak Chung Sun Sin, yang pernah menjabat sebagai kepala Kantor Investigasi Nasional negara itu.

Melansir Koreaboo, Chung yang baru menjabat terseret kasus bully yang dilakukan anaknya terhadap teman sekamarnya pada tahun 2017. Meski akhirnya mundur dari posisinya, Chung diketahui terlibat membantu putranya menghindari hukuman.

Di Korea Selatan, bullying juga menjadi alur cerita yang banyak diangkat pada layar kaca. Baru-baru ini, "The Glory" yang mengisahkan bullying menjadi salah satu acara yang paling banyak ditonton di Netflix.

Serial "The Glory" menggambarkan kisah seorang guru sekolah dasar yang berusaha membalas dendam terhadap sekelompok mantan perundungnya, yang telah melecehkannya secara fisik dan mental ketika dia masih muda.

Popularitas acara dan peringkat yang luar biasa, sebagian, dapat dikaitkan dengan caranya menyoroti tidak hanya kengerian bullying, tetapi juga kisah sang tokoh utama yang diabaikan ketika meminta bantuan.

Tidak hanya gagal menghukum pelaku bully, karakter Moon Dong Eun yang diperankan Song Hye-Kyo juga menderita pelecehan fisik dari gurunya. Hal ini menggambarkan gagalnya sistem komite pencegahan intimidasi di Korea Selatan.

Mungkin masalah terbesar di balik kegagalan itu adalah sebagian besar anggota komite tidak memiliki keahlian hukum. Dalam kebanyakan kasus, komite itu terdiri dari para orang tua siswa itu sendiri, dan terkadang guru sekolah tersebut.

"Banyak profesional hukum bahkan tidak sering menghadiri rapat komite karena itu adalah posisi yang tidak dibayar. Mereka biasanya sibuk dengan pekerjaan harian mereka. Belum lagi jumlah mereka yang sangat sedikit di setiap panitia," jelas Park Keun Byeong, Presiden Persatuan Guru Sekolah Seoul.

Isu lain yang berkembang adalah relokasi komite-komite tersebut. Pada tahun 2021, Kementerian Pendidikan Korea Selatan memutuskan untuk memindahkan komite tersebut di bawah cabang dinas pendidikan setempat.

Alhasil, para korban sekarang seharusnya melaporkan tindakan intimidasi ke sekolah mereka dan mengizinkan sekolah untuk menanganinya secara internal, dengan opsi sekolah melaporkannya ke komite jika kasusnya terbukti terlalu sulit untuk ditangani.

Sekalipun panitia terbukti berhasil dan mengambil keputusan terhadap mereka yang melakukan tindakan intimidasi sekolah, para pelaku bully dapat menentang keputusan tersebut dan membawa masalah tersebut ke pengadilan.

Jika perselisihan berlangsung cukup lama, sistem seperti itu justru akan membuat para pelaku bully tidak akan mendapatkan catatan sekolah terkait tuduhan intimidasi. Dengan begitu, pelaku bully dapat terus kuliah dan menjalani sisa hidup mereka dengan konsekuensi minimal, itupun jika ada.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top