Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Blackout

Dibutuhkan Sistem Pembangkit Listrik yang Terdistribusi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Insiden blackout (pemadaman total) listrik di Jabodetabek, Banten, dan sebagian wilayah Jawa Tengah, Minggu (4/8), mengundang reaksi pro kontra di ranah publik.

Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Singgih Widagdo, menilai, apa yang dilakukan PLN terkait insiden blackout perlu diapresiasi.

"Memang tidak semua bisa langsung hidup karena terkait sistem, termasuk yang aliran listriknya dari PLTU. Yang saya lihat, PLN sudah melakukan gerak cepat untuk mengatasi keadaan," ujarnya.

Menurutnya, blackout yang terjadi merupakan masalah teknis transmisi yang berada di Ungaran, Kabupaten Semarang. Ada gangguan aliran power dari Timur yang tidak bisa masuk ke Barat, sementara cadangan (reserve) di Barat tidak tinggi.

Oleh karena itu, lanjutnya, pembelajaran pertama dari kejadian ini adalah perlunya perbaikan sistem secara keseluruhan, dari hulu sampai hilir (dari pembangkit sampai ke pelanggan), baik dari sisi aksesibilitas maupun kapabilitas cadangan listrik.

Di samping itu, katanya, sikap PLN yang menanggung sebagian besar beban (moral maupun material) dengan lapang dada, perlu juga disikapi secara positif.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Febby Tumiwa menilai, konsep pengelolaan energi listrik tersentralisasi yang saat ini masih dipakai di Indonesia sudah tidak valid.

"Di abad 21 ini seiring perkembangan teknologi, konsep dari centralized power system atau pembangkit listrik tersentralisasi sudah tidak lagi valid," katanya di Jakarta, Selasa (6/8).

Dia menjelaskan, alasan itu berangkat dari insiden blackout pada Minggu, yang mengakibatkan lumpuhnya aktivitas bisnis dan pelayanan publik di hampir seluruh Pulau Jawa dan Bali.

"Padam listrik yang cukup panjang kemarin mengakibatkan berbagai efek mulai dari terganggunya jaringan telekomunikasi, sarana publik hingga transportasi yang terhenti," jelasnya.

Untuk mengantisipasi insiden blackout terjadi kembali, lanjut dia, pemerintah perlu mengembangkan sistem pembangkit listrik terdistribusi dengan memanfaatkan sumber-sumber energi primer di banyak wilayah.

"Dengan perkembangan teknologi yang dibutuhkan adalah distributed generation. Pembangkit-pembangkit terdistribusi yang tersebar banyak jumlahnya, kapasitasnya tidak besar, tapi bisa dikelola dalam satu sistem dan sistem itu memungkinkan dioperasikan secara efektif dan efisien," ujarnya.

Dia mengungkapkan, saat ini banyak negara di Eropa hingga Jepang di Asia telah mengkombinasi pengelolaan ketenagalistrikan tersentralisasi dan terdistribusi.

Ini memungkinkan negara-negara itu mengatur pemakaian energi dan mengantisipasi gangguan sistem yang menyebabkan aliran listrik terhenti.

"Jadi itu perlu didorong pengembangan pembangkitan listrik terdistribusi, khususnya PLTS di atap karena itu bisa dilakukan banyak orang," paparnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan Indonesia mampu mengalihkan sistem energi tersentralisasi menjadi terdistribusi karena negara ini memiliki banyak sumber energi baru terbarukan.

Studi yang dilakukan IESR, potensi dari listrik tenaga matahari yang dipasang di atap rumah mencapai 119-550 GW. Jumlah itu sangat besar.

"Kami melihat secara teknis dan market dalam 10 tahun ke depan membangun 15 GW itu sangat dimungkinkan, tapi kemudian harus diikuti pengembangan sistem kelistrikan itu sendiri di mana bisa mengakomodasi pembangkit-pembangkit yang terdistribusi," jelasnya. ima/R-1

Insiden di Negara Lain

Ketua CIGRE (Conseil International des Grands Reseaux Electriques-Dewan Internasional Sistem Listrik Besar) Indonesia, Herman Darnel Ibrahim, memaparkan, kejadian blackout seperti ini, sebenarnya juga pernah terjadi di mana-mana, termasuk di negara maju.

Negara maju seperti AS juga beberapa kali mengalami blackout. Di New York tercatat tiga kejadian yaitu pada 13 Juli 1977, 14 Agustus 2003 dan yang baru saja pada 14 Juli 2019. "Jadi rata-rata periodenya 15-20 tahunan, " ujarnya lagi.

Pemulihan blackout New York pada 2003, menurutnya, memerlukan waktu lebih 2 hari. Sementara kejadian terbaru pada 14 Juli 2019, juga baru pulih setelah 2 hari.

"California juga pernah mengalami blackout pada 1996, 2011, 2018 dan 2019. Bahkan dalam kejadian blackout pada 2011 di negara itu, Gubernurnya sampai mengatakan, even new cars can get breakdown," jelasnya.

Dalam sistem interkoneksi Jawa Bali, Herman yang pernah menjabat sebagai Direktur Transmisi dan Distribusi PLN periode 2003 - 2008 ini, mencatat setidaknya pernah terjadi 4 kali blackout. Masing-masing pada 13 April 1997, 18 Agustus 2005, 18 Maret 2009 dan terakhir 4 Agustus 2019 kemarin. "Jadi kira-kira 'periode'nya sekali dalam 5-10 tahunan," ujarnya.

Interkoneksi Jawa Bali memang membuat sistem menjadi kuat, namun dalam sistem buatan manusia tidak ada jaminan reliability yang 100 persen. "Un-reliability yang walau hanya 0,0000 sekian persen itu bisa menjadi penyebab," ungkapnya.

Herman memaparkan, gangguan blackout umumnya diawali gangguan dari luar, hubungan ke tanah atau lainnya. Gangguan juga bisa terkait dengan kelemahan dalam komponen sistem seperti kekurangan infrastruktur (N-1), asupan terkait setting proteksi, kontrol dan lain-lain. Dalam kondisi itu, jika proteksi tak bekerja sempurna, gangguan potensial untuk meluas.

Kriteria sekuriti sistem PLN seperti dimuat dalam RUPTL adalah N-1, artinya sistem didesain untuk tetap aman jika 1 komponen sistem trip. Dalam sistem Jawa Bali, menurutnya, tidak semua N- 1 terpenuhi, khususnya pada transmisi. Komposisi pembangkit dan beban bisa bervariasi, bisa ada saat-saat di mana kriteria N-1 tersebut tak terpenuhi.

Sistem Jawa Bali adalah interkoneksi yang sangat besar dengan sekitar 500 gardu Induk dan 200-an unit pembangkit serta ribuan kms transmisi. Melalui sistem interkoneksi itu, sejatinya sistem menjadi sangat kuat sehingga jarang sekali terjadi gangguan pasokan yang disebabkan pembangkit dan transmisi. Namun sebaliknya, karena begitu besar dan kompleksivitasnya sistem, jika terjadi blackout akan butuh waktu lama untuk pemulihan.

"Prinsip operasi mencegah gangguan pasokan dan mengamankan sistem terhadap kemungkinan blackout ini tentu sudah dilakukan utility seperti PLN," ujarnya.

Persoalan krusial yang muncul adalah bagaimana mengatasinya? Untuk mengetahui akar penyebab blackout, menurut Herman, sudah seharusnya dilakukan investigasi yang melibatkan para ahli dari luar utility.

"Seperti halnya dalam crash investigation, semua data recorders dan data peralatan dikumpulkan dan dianalisis tim penyelidik yang dibentuk. Kemudian dibahas kemungkinan-kemungkinan penyebab, lalu disimpulkan penyebabnya; apakah karena kelemahan peralatan, defects pada komponen, kelemahan sistem proteksi atau setting-nya atau bisa juga faktor sumber daya manusia (human error)," pungkasnya.

Pada akhirnya, Herman berpendapat, blackout itu sebuah musibah bagi utility, dan sudah menjadi SOP untuk mencegahnya supaya tidak terjadi. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top